Wednesday, December 26, 2007

Robohnya Sekolah Kami

Setiap Tempat adalah Sekolah, Setiap Orang adalah Guru”
(Ki Hajar Dewantara)


Setelah porak poranda oleh hantaman bom atom AS di awal Agustus 1945, Jepang mencoba bangkit dan membangun kembali negerinya. Sang Kaisar pun mengajukan pertanyaan sederhana kepada perdana menteri. Berapa guru yang masih hidup?

Pertanyaan tersebut menjadi langkah awal Jepang bangkit dari kehancurannya dan menjadi raksasa ekonomi dunia yang mampu bersaing dengan Amerika dan Eropa.

Juga bukan suatu kebetulan bila sang komponis “Indonesia Raya”, WR Supratman menuliskan syair “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya”. Supratman tahu persis bahwa “membangun jiwa” adalah “necessary condition” untuk pembangunan sebuah bangsa.

Soekarno pun seia sekata dengan Supratman. Karena itu, Soekarno mencanangkan “Nation and Character Building”. Membangun karakter bangsa, itu yang pertama dan utama. Bayangkan, di masa Demokrasi Terpimpin -yang selalu ditulis dalam sejarah sebagai era kediktatoran Soekarno- sebuah pertandingan volley antar kampung, tim pemenangnya mendapatkan hadiah sebuah buku “Di Bawah Bendera Revolusi”. Sekali lagi, hadiahnya sebuah buku, bukan piala, piagam, uang apalagi voucher belanja di mal.

Pun begitu pula Hatta. Pasca dibubarkannya PNI oleh Sartono atas intimidasi kolonial Belanda, Hatta membentuk kembali PNI dengan akronim baru, Pendidikan Nasional Indonesia yang popular dikenal dengan PNI Pendidikan. Hatta berpendapat sebuah organisasi atau partai yang baik seharusnya lebih mengutamakan kualitas kader bukan sekedar lautan massa yang dimobilisasi setiap Pemilu dan Pilkadal.

Kini, ketika kita membaca koran setiap hari, kita akan melihat hanya tiga hal yang terus menerus menjadi polemik para pakar, birokrat dan masyarakat. Pertama, anggaran pendidikan yang tidak memadai. Dua, para guru yang bergaji rendah dan tidak kompeten. Dan, ketiga Ujian Nasional (UN) yang menjadi momok siswa.

Lantas, pernahkah kita bertanya langsung pada para anak muda, sekumpulan bocah SD, SMP dan SMA tentang keinginan dan kebutuhan mereka akan pendidikan. Tentu saja tidak. Kita sebagai orang tua tentu sudah mempersiapkan masa depan mereka yang seringkali tidak “link and match” dengan need, want dan mungkin taste mereka.

Bila kita berprofesi sebagai lawyer, maka kita akan mengarahkan anak-anak kita masuk fakultas hukum. Bila kita menjadi dokter, maka kita pun mengharapkan anak-anak kita juga mengikuti jejak kita.

Kita selalu mengajarkan pada anak-anak kita tentang cara mencapai kesuksesan. Ya, cara, teknik, metode atau “how to”. Paling jauh kita memberikan informasi kepada mereka tentang “what to”, apa itu profesi dokter. Berapa gaji yang akan kita dapat bila kita menjadi lawyer. Dan seterusnya.

Kita lupa, lalai dan abai memancing anak bertanya, “why to”. Mengapa kamu harus menjadi dokter? Mengapa kamu harus menjadi lawyer? Pernahkah kita memangku anak kita dan menceritakan tentang kisah Mahatma Gandhi, seorang lawyer sukses dan kaya yang memilih –bukan terpaksa- menjadi aktivis politik yang memperjuangkan pembebasan rakyatnya dari kolonialisme Inggris. Dan pernahkah kita menguraikan alas an Gandhi memilih hijrah menjadi aktivis politik yang menghidupi perjuangannya dengan kekayaannya? Ataukah kita sempat menceritakan dengan rinci bagaimana Gandhi harus terusir dari kursi kereta kelas eksekutif ke kelas ekonomi hanya karena Gandhi bukan kulit putih.

Maybe Yes. Or not yet. Ya, anda tidak salah. Kebutuhan biaya (baca: investasi) pendidikan anak kita sedemikian mahalnya. Mulai dari SPP, admission fee, biaya antar jemput, biaya les piano, biaya try out, uang promnite, uang ekskul dan lain-lain. Kita sebagai orang tua harus berjuang nine to five –bahkan lebih- untuk mencukupi biaya pendidikan anak kita, sehingga tidak sempat membacakan kisah-kisah pemimpin, pahlawan, nabi-nabi dan true leader lainnya.

Last but not least, juga sudahkah kita menanamkan nilai-nilai kejujuran, integritas dan harga diri pada anak-anak kita. Mungkin, kita bisa terinspirasi dari cara sebuah pesantren tradisional di pelosok Jawa Timur yang mencoba mendarahdagingkan nilai-nilai kejujuran dengan membuat sebuah “kantin kejujuran”.

Beda dengan kantin konvensional, “kantin kejujuran” tidak dijaga oleh seorang kasir yang bertugas menerima pembayaran dari siswa. “Kantin kejujuran” hanya menyediakan sebuah kotak uang dimana siswa yang mengambil sebuah barang dapat memasukkan uang senilai barang yang diambilnya ke dalam kotak tersebut.

Setiap malam, pengelola kantin tersebut mengecek jumlah uang yang masuk untuk dicocokkan dengan jumlah barang yang terjual. Pada awalnya, terdapat selisih cukup besar antara uang dalam kotak dengan nilai barang yang terjual. Pihak pesantren tidak mengusut, siapa yang tidak jujur, tapi hanya mengumumkan selisih tersebut. Beberapa saat kemudian, selisih tersebut semakin mengecil sebagai tanda telah meningkatnya grafik kejujuran para santri.

Dengan demikian, benarlah quote dari Ki Hajar Dewantara di awal tulisan ini, “Setiap Tempat Adalah Sekolah, Setiap Orang Adalah Guru”. Juga, dengan demikian, judul tulisan ini, “Robohnya Sekolah Kami” menjadi tidak “relevan dan signifikan” –mengutip ucapan populer seorang petinggi negeri ini. Wallahu A’lam.

3 comments:

Erwien Kusuma said...

ck..ck..ck...
satu lagi guru bangsa yang gak gagap teknologi
terlahir...

Anonymous said...

Salam Kenal Bang...
Pemikiran yang anda tulis sangat mencerahkan...
Thanks yah

Anonymous said...

Salam Kenal Bang...
Pemikiran yang anda tulis sangat mencerahkan...
Thanks yah