Friday, December 14, 2007

Nasi Goreng Tanpa Nasi

Nasi goreng tanpa nasi? Tidak mungkin bukan? Namun itulah yang terjadi di Republik ini, ketika sekelompok kaum muda mendeklarasikan “Saatnya Kaum Muda Memimpin” di Gedung Arsip Nasional saat peringatan Sumpah Pemuda 2007 lalu.

Ya, mengutip Indra Jaya Piliang yang menulis “Kaum Muda Tanpa Kaum”, kaum muda yang mendeklarasikan pernyataan “Saatnya Kaum Muda Memimpin” ternyata adalah “kaum muda tanpa kaum”, bagaikan “kepala” tanpa “kaki” dan “tangan” atau seperti Hegel, “ide” tanpa “praktik”.

Kita semua sudah mafhum bahwa mereka yang menamakan dirinya “kaum muda” tersebut sebagian besar adalah aktivis muda yang day to day berprofesi sebagai pengamat politik, dosen, jurnalis dan satu-dua aktivis partai. Yang pasti mereka, tidak punya “kaum”, tidak punya basis massa, konstituen dan umat. Mereka hanya punya media massa yang kebetulan para awak media tersebut adalah bekas teman kuliahnya, teman kost-nya, teman satu organisasi yang bisa dilobi untuk memuat aktivitas “Saatnya Kaum Muda Memimpin” menjadi headline di berbagai media massa. Setelah deklarasi pun, mereka kembali bertapa di balik notebook mereka, mencari ide baru yang “layak tayang” di media massa. Adakah dalam satu minggu sekali mereka berdialog dengan para tukang becak, sopir angkot, petani, nelayan, buruh, pelacur, germo, tukang parkir atau sekedar office boy di kantornya masing-masing? Untuk sekedar mendengar apa sebenarnya kebutuhan rakyat. Apa rakyat butuh “kaum muda sebagai pemimpin” atau hanya butuh beras murah?

Itulah kaum muda kita, bagaikan nasi goreng tanpa nasi. Namun, fenomena nasi goreng tanpa nasi tersebut tidak hanya melanda kaum muda. Berapa banyak hakim tanpa kebijaksanaan, ulama tanpa ilmu, orang kaya tanpa semangat berderma, pengusaha tanpa berusaha, dan lain-lain. Mereka sudah cukup puas terpenjara dengan gelar, pangkat, statu atau titel tanpa memperhatikan makna peranan yang melekat pada status tersebut.

Itulah yang terjadi pada kaum muda yang berteriak “Saatnya Kaum Muda Memimpin”. Apakah yang sudah mereka lakukan untuk memimpin selain menulis artikel di surat kabar, menjadi panelis dalam diskusi dan seminar, atau membuat proposal program untuk mendapat kucuran dana funding asing.

Anda ingin memimpin?

Satu, Anda Harus punya Massa, Konstituen atau Umat. Dua, Anda Harus Punya Visi, mau diapakan dan dikemanakan pengikut anda.Tiga, Anda Harus Punya “Logistik”, minimal untuk ongkos bensin anda untuk “turba” ketemu konstituen. Dan logistik tersebut akan lebih baik bila berasal dari kocek anda pribadi, bukan dari sponsor apalagi patronase. Yang terjadi sekarang, banyak aktivis politik menggalang massa dengan logistik dari sponsor dan patronase, setelah berkuasa dan menentukan anggaran, maka alokasinya tentu lebih diutamakan sponsor dan patronase tersebut.

Lalu, “ice breaking”-nya bagaimana? Ya, turun ke bawah, langsung ke rakyat. Mulailah dari bawah. Jadilah pengecer terlebih dahulu di tingkat lokal. Bila jualan anda laku, maka anda bisa jadi agen yang mengkoordinir sejumlah pengecer. Agen yang sukses tentu akan beranjak menjadi distributor. Dan jangan lama-lama jadi distributor yang memasarkan produk orang lain walaupun produk tersebut anda sukai. Tentukan saat yang tepat, anda membuat produk sendiri yang orisinil, berbeda dan tentu lebih bermanfaat bagi konsumen.

Jika itu kita lakukan. Kita bukanlah lagi “kaum muda tanpa kaum” apalagi “nasi goreng tanpa nasi”. Wallahu A’lam.

No comments: