Saturday, December 29, 2007

Takdir untuk Benazir

Oleh: Alfanny

Dunia mengutuk pembunuhan Benazir. Tapi ada juga segelintir orang yang "bersyukur" atas terbunuhnya Benazir. Mereka adalah para "bajak laut" yang mengatasnamakan Islam. Itulah kesan yang tertangkap jika anda membaca situs http://www.eramuslim.com/ tanggal 28 Desember 2007, dengan judul "Benazir Bhutto: Sang Ratu Dugem".

Ya, memang benar Benazir semasa kuliah di Oxford dan Harvard adalah "cewek gaul" yang cenderung liberal dan sering menghabiskan waktu malamnya di Diskotek. Tapi, dengan segala "ketidaksempurnaannya" tersebut, Benazir berjasa menyemai nilai-nilai demokrasi di Pakistan.
So, justru karena itulah, mungkin situs era muslim memvonis Benazir pro AS. Itulah simplifikasi tolol dari para "bajak laut" yang menuduh orang-orang yang menganut paham demokrasi sebagai antek AS. Lalu, kalau bukan demokrasi, mau menganut sistem apa? Alternatifnya, ada, yaitu komunis. Tapi, para "bajak laut" tersebut jelas anti komunis karena komunis itu atheis! (Ini kesimpulan tolol juga dari para "bajak laut").
Para "Bajak Laut" yang mengatasnamakan Islam pun mengajukan alternatif selain demokrasi dan komunisme, yaitu ISLAM! Menurut mereka, semua masalah di dunia mulai dari mo-limo sampai global warming, mulai dari pornografi sampai kenaikan BBM bisa diselesaikan dengan Islam.

Ya, ya, ya. Bagi muslim abangan yang "bertemu" Islam di SMA/ Kampus Umum setelah didoktrin seniornya, alternatif "Islam" yang "one stop service" pun amat memikat. Bayangkan, segala sesuatu bisa diselesaikan dengan solusi "Islam" atau "Syariah".
Dan muslim-muslim karbitan inilah yang mengkufurkan segala sistem di luar Islam, seperti demokrasi, komunis, liberalisme, etc. Kalaupun ada kelompok "muslim karbitan" atau "bajak laut" yang masuk sistem demokrasi seperti PKS (Partai Keadilan Sejahtera), percayalah itu hanya kedok. Kalau mereka berkuasa mayoritas lewat Pemilu, secara bertahap mereka akan mendirikan negara Islam atau Khilafah yang mereka igaukan tiap tidur.
Dan, mungkin itulah takdir untuk Benazir. Yang pasti, pembunuhan Benazir akan memberi inspirasi bagi para "bajak laut" di Indonesia. Dalam 10-20 tahun mendatang, tragedi ala Benazir akan terjadi di Indonesia.

Wednesday, December 26, 2007

Robohnya Sekolah Kami

Setiap Tempat adalah Sekolah, Setiap Orang adalah Guru”
(Ki Hajar Dewantara)


Setelah porak poranda oleh hantaman bom atom AS di awal Agustus 1945, Jepang mencoba bangkit dan membangun kembali negerinya. Sang Kaisar pun mengajukan pertanyaan sederhana kepada perdana menteri. Berapa guru yang masih hidup?

Pertanyaan tersebut menjadi langkah awal Jepang bangkit dari kehancurannya dan menjadi raksasa ekonomi dunia yang mampu bersaing dengan Amerika dan Eropa.

Juga bukan suatu kebetulan bila sang komponis “Indonesia Raya”, WR Supratman menuliskan syair “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya”. Supratman tahu persis bahwa “membangun jiwa” adalah “necessary condition” untuk pembangunan sebuah bangsa.

Soekarno pun seia sekata dengan Supratman. Karena itu, Soekarno mencanangkan “Nation and Character Building”. Membangun karakter bangsa, itu yang pertama dan utama. Bayangkan, di masa Demokrasi Terpimpin -yang selalu ditulis dalam sejarah sebagai era kediktatoran Soekarno- sebuah pertandingan volley antar kampung, tim pemenangnya mendapatkan hadiah sebuah buku “Di Bawah Bendera Revolusi”. Sekali lagi, hadiahnya sebuah buku, bukan piala, piagam, uang apalagi voucher belanja di mal.

Pun begitu pula Hatta. Pasca dibubarkannya PNI oleh Sartono atas intimidasi kolonial Belanda, Hatta membentuk kembali PNI dengan akronim baru, Pendidikan Nasional Indonesia yang popular dikenal dengan PNI Pendidikan. Hatta berpendapat sebuah organisasi atau partai yang baik seharusnya lebih mengutamakan kualitas kader bukan sekedar lautan massa yang dimobilisasi setiap Pemilu dan Pilkadal.

Kini, ketika kita membaca koran setiap hari, kita akan melihat hanya tiga hal yang terus menerus menjadi polemik para pakar, birokrat dan masyarakat. Pertama, anggaran pendidikan yang tidak memadai. Dua, para guru yang bergaji rendah dan tidak kompeten. Dan, ketiga Ujian Nasional (UN) yang menjadi momok siswa.

Lantas, pernahkah kita bertanya langsung pada para anak muda, sekumpulan bocah SD, SMP dan SMA tentang keinginan dan kebutuhan mereka akan pendidikan. Tentu saja tidak. Kita sebagai orang tua tentu sudah mempersiapkan masa depan mereka yang seringkali tidak “link and match” dengan need, want dan mungkin taste mereka.

Bila kita berprofesi sebagai lawyer, maka kita akan mengarahkan anak-anak kita masuk fakultas hukum. Bila kita menjadi dokter, maka kita pun mengharapkan anak-anak kita juga mengikuti jejak kita.

Kita selalu mengajarkan pada anak-anak kita tentang cara mencapai kesuksesan. Ya, cara, teknik, metode atau “how to”. Paling jauh kita memberikan informasi kepada mereka tentang “what to”, apa itu profesi dokter. Berapa gaji yang akan kita dapat bila kita menjadi lawyer. Dan seterusnya.

Kita lupa, lalai dan abai memancing anak bertanya, “why to”. Mengapa kamu harus menjadi dokter? Mengapa kamu harus menjadi lawyer? Pernahkah kita memangku anak kita dan menceritakan tentang kisah Mahatma Gandhi, seorang lawyer sukses dan kaya yang memilih –bukan terpaksa- menjadi aktivis politik yang memperjuangkan pembebasan rakyatnya dari kolonialisme Inggris. Dan pernahkah kita menguraikan alas an Gandhi memilih hijrah menjadi aktivis politik yang menghidupi perjuangannya dengan kekayaannya? Ataukah kita sempat menceritakan dengan rinci bagaimana Gandhi harus terusir dari kursi kereta kelas eksekutif ke kelas ekonomi hanya karena Gandhi bukan kulit putih.

Maybe Yes. Or not yet. Ya, anda tidak salah. Kebutuhan biaya (baca: investasi) pendidikan anak kita sedemikian mahalnya. Mulai dari SPP, admission fee, biaya antar jemput, biaya les piano, biaya try out, uang promnite, uang ekskul dan lain-lain. Kita sebagai orang tua harus berjuang nine to five –bahkan lebih- untuk mencukupi biaya pendidikan anak kita, sehingga tidak sempat membacakan kisah-kisah pemimpin, pahlawan, nabi-nabi dan true leader lainnya.

Last but not least, juga sudahkah kita menanamkan nilai-nilai kejujuran, integritas dan harga diri pada anak-anak kita. Mungkin, kita bisa terinspirasi dari cara sebuah pesantren tradisional di pelosok Jawa Timur yang mencoba mendarahdagingkan nilai-nilai kejujuran dengan membuat sebuah “kantin kejujuran”.

Beda dengan kantin konvensional, “kantin kejujuran” tidak dijaga oleh seorang kasir yang bertugas menerima pembayaran dari siswa. “Kantin kejujuran” hanya menyediakan sebuah kotak uang dimana siswa yang mengambil sebuah barang dapat memasukkan uang senilai barang yang diambilnya ke dalam kotak tersebut.

Setiap malam, pengelola kantin tersebut mengecek jumlah uang yang masuk untuk dicocokkan dengan jumlah barang yang terjual. Pada awalnya, terdapat selisih cukup besar antara uang dalam kotak dengan nilai barang yang terjual. Pihak pesantren tidak mengusut, siapa yang tidak jujur, tapi hanya mengumumkan selisih tersebut. Beberapa saat kemudian, selisih tersebut semakin mengecil sebagai tanda telah meningkatnya grafik kejujuran para santri.

Dengan demikian, benarlah quote dari Ki Hajar Dewantara di awal tulisan ini, “Setiap Tempat Adalah Sekolah, Setiap Orang Adalah Guru”. Juga, dengan demikian, judul tulisan ini, “Robohnya Sekolah Kami” menjadi tidak “relevan dan signifikan” –mengutip ucapan populer seorang petinggi negeri ini. Wallahu A’lam.

Sunday, December 23, 2007

Siapakah Diantara Kita Yang Tidak Sesat?

Maraknya aliran sesat dan lebih maraknya lagi berbagai kelompok fasis Islam yang "main hakim sendiri" terhadap aliran sesat ditanggapi secara unik oleh Emha Ainun Najib (Cak Nun). Cak Nun hanya mengajukan pertanyaan retoris, "Siapakah diantara kita yang tidak sesat?".
Kalimat retoris Cak Nun mirip dengan kalimat retoris Yesus (Isa Almasih) yang "membela" seorang pelacur dari amuk massa yang ingin membunuhnya karena dianggap berbuat maksiat dan dosa. Yesus berkata, "Siapa di antara kalian yang tidak berdosa?". Tidak ada satupun orang yang berani menjawab.
Kalau kita nonton film "Passion of Christ", Yesus pun dianggap sesat dan murtad oleh para rabbi Yahudi. Bahkan Nabi Muhammad SAW pun awalnya dianggap sesat oleh kaum Quraisy.
Yang pasti, dalam iklim modern saat ini, seseorang tidak bisa diadili dan dihukum karena mempunyai keyakinan yang berbeda. Bila ada seseorang yang declare bahwa Tuhannya adalah "kucing garong", maka kita tidak bisa menghukumnya. Kita -paling jauh- hanya bisa mengadukannya ke otoritas hukum karena telah "meresahkan masyarakat", dan biarkan otoritas hukum yang memprosesnya. Kalau masyarakat sipil seperti FPI, MUI atau ormas Islam fasis lainnya ingin intervensi jelas tidak bisa menggunakan medium kekerasan. Gunakanlah bahasa dakwah dan dialog kepada kebenaran. Bila si "aliran sesat" tersebut tetap "keukeueh" dengan keyakinannya maka tugas sang pendakwah sudah selesai.
Kini, otoritas hukum justru harus menindak tegas para kelompok Islam fasis seperti FPI atau apapun namanya yang telah berbuat anarkis. Kalau tidak, mungkin bisa terjadi konflik horizontal di negeri ini. Salam.

Friday, December 14, 2007

Nasi Goreng Tanpa Nasi

Nasi goreng tanpa nasi? Tidak mungkin bukan? Namun itulah yang terjadi di Republik ini, ketika sekelompok kaum muda mendeklarasikan “Saatnya Kaum Muda Memimpin” di Gedung Arsip Nasional saat peringatan Sumpah Pemuda 2007 lalu.

Ya, mengutip Indra Jaya Piliang yang menulis “Kaum Muda Tanpa Kaum”, kaum muda yang mendeklarasikan pernyataan “Saatnya Kaum Muda Memimpin” ternyata adalah “kaum muda tanpa kaum”, bagaikan “kepala” tanpa “kaki” dan “tangan” atau seperti Hegel, “ide” tanpa “praktik”.

Kita semua sudah mafhum bahwa mereka yang menamakan dirinya “kaum muda” tersebut sebagian besar adalah aktivis muda yang day to day berprofesi sebagai pengamat politik, dosen, jurnalis dan satu-dua aktivis partai. Yang pasti mereka, tidak punya “kaum”, tidak punya basis massa, konstituen dan umat. Mereka hanya punya media massa yang kebetulan para awak media tersebut adalah bekas teman kuliahnya, teman kost-nya, teman satu organisasi yang bisa dilobi untuk memuat aktivitas “Saatnya Kaum Muda Memimpin” menjadi headline di berbagai media massa. Setelah deklarasi pun, mereka kembali bertapa di balik notebook mereka, mencari ide baru yang “layak tayang” di media massa. Adakah dalam satu minggu sekali mereka berdialog dengan para tukang becak, sopir angkot, petani, nelayan, buruh, pelacur, germo, tukang parkir atau sekedar office boy di kantornya masing-masing? Untuk sekedar mendengar apa sebenarnya kebutuhan rakyat. Apa rakyat butuh “kaum muda sebagai pemimpin” atau hanya butuh beras murah?

Itulah kaum muda kita, bagaikan nasi goreng tanpa nasi. Namun, fenomena nasi goreng tanpa nasi tersebut tidak hanya melanda kaum muda. Berapa banyak hakim tanpa kebijaksanaan, ulama tanpa ilmu, orang kaya tanpa semangat berderma, pengusaha tanpa berusaha, dan lain-lain. Mereka sudah cukup puas terpenjara dengan gelar, pangkat, statu atau titel tanpa memperhatikan makna peranan yang melekat pada status tersebut.

Itulah yang terjadi pada kaum muda yang berteriak “Saatnya Kaum Muda Memimpin”. Apakah yang sudah mereka lakukan untuk memimpin selain menulis artikel di surat kabar, menjadi panelis dalam diskusi dan seminar, atau membuat proposal program untuk mendapat kucuran dana funding asing.

Anda ingin memimpin?

Satu, Anda Harus punya Massa, Konstituen atau Umat. Dua, Anda Harus Punya Visi, mau diapakan dan dikemanakan pengikut anda.Tiga, Anda Harus Punya “Logistik”, minimal untuk ongkos bensin anda untuk “turba” ketemu konstituen. Dan logistik tersebut akan lebih baik bila berasal dari kocek anda pribadi, bukan dari sponsor apalagi patronase. Yang terjadi sekarang, banyak aktivis politik menggalang massa dengan logistik dari sponsor dan patronase, setelah berkuasa dan menentukan anggaran, maka alokasinya tentu lebih diutamakan sponsor dan patronase tersebut.

Lalu, “ice breaking”-nya bagaimana? Ya, turun ke bawah, langsung ke rakyat. Mulailah dari bawah. Jadilah pengecer terlebih dahulu di tingkat lokal. Bila jualan anda laku, maka anda bisa jadi agen yang mengkoordinir sejumlah pengecer. Agen yang sukses tentu akan beranjak menjadi distributor. Dan jangan lama-lama jadi distributor yang memasarkan produk orang lain walaupun produk tersebut anda sukai. Tentukan saat yang tepat, anda membuat produk sendiri yang orisinil, berbeda dan tentu lebih bermanfaat bagi konsumen.

Jika itu kita lakukan. Kita bukanlah lagi “kaum muda tanpa kaum” apalagi “nasi goreng tanpa nasi”. Wallahu A’lam.

Tuesday, November 20, 2007

Kemiskinan Penyebab Radikalisme Agama?

Selama ini banyak kalangan berpendapat bahwa kemiskinan menjadi faktor penyebab munculnya gejala radikalisme beragama yang pada situasi tertentu mewujud dalam aksi-aksi terorisme.

Walaupun pendapat di atas sepintas relevan, namun bila kita mencermati realita sebenarnya kita akan menjumpai fakta yang berbeda. Gembong Al-Qaeda, Osama bin Laden jelas bukanlah berasal dari warga Arab “kasta sudra”. Ia adalah pengusaha besar di Saudi yang di era perang Afganistan-Sovyet tahun 1980-an mensuplai dana bagi mujahidin Afghanistan. Menurut Marc Sageman penulis buku “Understanding Terror Networks” yang meneliti sampel 400 anggota Al-Qaeda, sebagian besar anggota Al-Qaeda berasal dari Arab, komunitas imigran di Eropa dan warga Indonesia di Malaysia. Dalam kaitannya dengan latar belakang sosial-ekonomi, tiga perempat berasal dari keluarga kelas atas dan menengah. Sekitar 60 persen sampel yang diambil pernah kuliah di perguruan tinggi. Realitas menarik lainnya adalah bahwa hampir 70 persen di antara mereka bergabung dalam “gerakan jihad” ketika di perantauan yang terasing dan terputus dari ikatan sosial budaya asli serta jauh dari sanak keluarga. Dari fakta di atas, maka sebagian besar aktivis Al-Qaeda bukanlah berasal dari kaum miskin. Mereka sebagaimana Osama bin Laden adalah kelas menengah yang kecewa terhadap kegagalan rezim sekuler di negaranya masing-masing yang gagal mewujudkan kesejahteraan dan tunduk terhadap kehendak Barat. Sebagai alternatif ideologi sekuler yang telah gagal, mereka mengajukan Islam sebagai ideologi alternatif dengan model revivalisme (kembali kepada kejayaan (Islam) di masa lampau). Yang terjadi kemudian adalah romantisasi, glorifikasi dan juga mistifikasi sejarah (Islam) dimana kaum revivalis muslim mempropagandakan bahwa sejarah Islam dengan sistem khilafahnya adalah sistem terbaik yang mampu menandingi ideologi sekuler beserta turunannya seperti demokrasi, kapitalisme, liberalisme dan sosialisme.

Salah satu kaum revivalis muslim tersebut adalah Hizbut Tahrir (HT) yang menolak 100% sistem demokrasi dan mempropagandakan khilafah sebagai sistem politik yang wajib ditegakkan umat Islam. Dalam situs resminya (www.hizbut-tahrir.or.id), HT menguraikan tentang sistem khilafah sebagai berikut: “Sistem Khilafah merupakan bentuk negara dalam Islam yang menerapkan hukum syariah di bawah pimpinan seorang khalifah. Negara Khilafah merupakan kekuatan politik praktis yang berfungsi untuk menerapkan hukum Islam serta mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad. Khilafah adalah satu-satunya tharîqah (metode) bagi penerapan syariah Islam secara menyeluruh dalam semua aspek kehidupan. Negara Khilafah ini berdiri atas dasar ideologi Islam yang menjadikan akidah Islam sebagai landasannya”. HT juga menguraikan tentang kekhalifahan terakhir, Utsmani Turki yang dibubarkan oleh Mustafa Kemal tahun 1924 dan berganti menjadi Republik Turki yang berlandaskan sekularisme. Di Indonesia, Hizbut Tahrir (Indonesia) gencar melakukan demonstrasi dan kampanye penegakan syariat Islam (formal) dengan memanfaatkan isu-isu aktual. Basis pendukungnya sebagian besar terkonsentrasi di kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) dan kampus-kampus PTN di berbagai kota besar.

Kelompok muslim revivalis lainnya adalah Ikhwanul Muslimin (Ikhwan). Ikhwan lahir tahun 1928 di Mesir dengan Hasan Al Banna sebagai pendiri dan perumus ideologinya. Ideologi Ikhwan dirumuskan dengan slogan “instant dan siap saji” yaitu: “Allah Ghayatuna, Rasulullah Qudwatuna, Qur’an Dusturuna, Jihad Sabiluna, Syahid Asma’amanina” (Allah tujuan kami, Rasulullah teladan kami, Quran konstitusi kami, Jihad jalan hidup kami, Mati Syahid cita-cita kami)”. Persaingan Ikhwan dengan partai-partai sekuler dan komunis dalam memperebutkan kekuasaan di Mesir telah menyebabkan Ikhwan terprovokasi untuk melakukan tindakan kekerasan yang berpuncak pada gugurnya Hasan Al Banna. Pada era rezim Gamal Abdul Nasser yang berhaluan kiri, Ikhwanul Muslimin dibekukan dan sejumlah tokohnya seperti Sayyid Quthb dihukum gantung. Namun hingga kini, Ikhwan tetap eksis di Mesir dan bahkan memberikan inspirasi bagi gerakan Islam di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah sebuah partai Islam yang sedikit banyak “mengimpor” ideologi Ikhwan. Bermodal 1,8% suara pada Pemilu 1999, PKS berhasil meraih 7% suara pada Pemilu 2004 mengalahkan “seniornya” seperti PAN dan PBB. Di Jakarta, bahkan PKS menempati peringkat pertama perolehan suara. Hal ini tidaklah mengherankan mengingat kader-kader muda PKS adalah para mahasiswa dan alumni Universitas Indonesia (UI) yang memang banyak berdomisili di Jakarta. Kemenangan PKS di Jakarta tersebut menyebabkan PKS cukup “pede” untuk “single fighter” dalam Pilkada Gubernur DKI Jakarta yang akan digelar pertengahan tahun 2007 ini tanpa perlu “dagang sapi” berkoalisi dengan partai lain. Kelas Menengah Kota Cenderung Radikal? Mencermati realitas sosial-ekonomi basis pendukung Hizbut Tahrir dan PKS di Indonesia yang sebagian besar kelas menengah kota, maka secara sederhana dapat disimpulkan bahwa kaum kelas menengah kota cenderung menyetujui paham revivalisme (dan juga radikalisme) agama (Islam).

Lalu, bagaimanakah anatomi kaum kelas menengah kota yang cenderung “taklid” pada paham revivalisme tersebut? Pertama, sebagian besar di antara mereka kuliah di perguruan tinggi negeri favorit seperti UI, IPB, ITB, UGM dan lain-lain yang notabene berasal dari lulusan SMA-SMA negeri unggulan di kotanya masing-masing. Ingat, mereka berasal dari SMA negeri bukan lulusan Madrasah Aliyah atau pesantren tradisional yang umumnya berkultur tradisional (Baca: NU). Pada umumnya, di tingkat SMA inilah, mereka bergabung dengan jamaah HT dan PKS (Sebelum reformasi, jamaah HT dan PKS menamakan dirinya gerakan tarbiyah). Di SMA-SMA negeri, para siswa muslim direkrut menjadi jamaah tarbiyah/ HT/ PKS melalui Rohanis Islam (Rohis) sebagai satu-satunya organisasi pelajar muslim yang boleh beraktivitas di sekolah negeri. Kedua, sudah jelas bahwa para siswa SMA negeri pada umumnya kurang memiliki pemahaman agama yang mendalam seperti rekan-rekannya di Pesantren (yang belajar fiqh, bahasa Arab, nahwu sharaf dan bahkan kitab kuning) sehingga mereka mudah tertarik dengan idelogi revivalisme Islam yang “instant dan siap saji”. Ketiga, juga sangat jelas bahwa para pelajar yang bersekolah di SMA negeri unggulan pada umumnya berlatar belakang sosial ekonomi menengah mengingat SMA negeri unggulan memasang “bandrol” yang cukup mahal untuk SPP-nya. Di Jakarta, untuk masuk SMA unggulan seperti SMA 8, 70, 28, 78 dan lain-lain –selain nilai UN SMP yang tinggi- juga dibutuhkan kesediaan orang tua untuk merogoh kocek lebih dalam hingga di atas 2 juta rupiah sebagai uang pangkal.

Itulah anatomi kaum kelas menengah kota yang cenderung tertarik pada ideologi revivalisme- radikalisme Islam. Anatomi tersebut kompatibel dengan teori Marxis bahwa radikalisme selalu dimotori oleh kelompok yang kondisi ekonominya relatif lebih baik. Jadi, salah satu –dan mungkin satu-satunya- cara untuk mengembalikan gerakan Islam “on the right track” bukan dengan memberantas kemiskinan, tapi dengan dakwah. Sudah saatnya para kyai, ulama dan cendekiawan muslim berdakwah kepada generasi muda kelas menengah kota untuk mendalami ajaran Islam secara komprehensif (kaffah) bukan ideologi revivalisme-radikalisme Islam yang “instant dan siap saji”. Di sisi lain, -mungkin ini agak mustahil- kita berharap pada Barat (AS, Israel dan Eropa) untuk tidak “memprovokasi” umat Islam dengan “perang melawan teroris”-nya. Akan lebih menguntungkan bagi Barat, bila mereka mulai menjalin dialog yang konstruktif dengan Dunia Islam. Pada titik ini, peranan Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia memegang peranan yang signifikan. Sudah saatnya Indonesia mulai memainkan “kartu” diplomasi Islam di kancah internasional. Keberadaan dua organisasi Islam terbesar –yang “asli” Indonesia- yaitu NU dan Muhammadiyah hendaknya juga bersinergi dengan Departemen Luar Negeri untuk mulai mengusung diplomasi Islam ala Indonesia. Wallahu A’lam.

Penulis adalah alumni Ilmu Sejarah UI dan redaksi
www.gusmus.net

KOMENTAR
M. Amin Bunyamin (Amin) menulis:Alhamdulillah, semoga semua kader pewaris para nabi di seluruh negeri juga sudah bisa membaca fenomena ini. Semoga juga mampu merumuskan solusi dan mengamalkannya pada tataran praksis. Persis sekali Kang Alfanny, fenomena "taqlid masyarakat kota". Solusi dari saya "back to basic" kembali ke masjid. Jadilah teladan!
wijiwilopo (wiji) menulis:kalau saya liat gus.....rosulnya......ngajari ketimur...umatnya..acara ke barat, juru dakwahnya seakan akan lenih tahu dari nabinya....terus umat islam 75 % agamanya uda duit...yah klop

rais sonaji (rais) menulis:Ass.wr.wb.Pada dasarnya, berdasarkan data-data yang saudara Alfanny gunakan, saudara ingin menunjukan bahwa persoalan radikalisme Islam bukanlah disebabkan oleh adanya fenomena kemiskinan, dan sebagai konsekwensi logisnya saudara menyarankan agar untuk mengembalikan gerakan Islam agar kembali ke jalur yang benar, maka harus melalui dakwah dan bukan melalui upaya-upaya pemberantasan kemiskinan. Sebagaimana kutipan pendapat saudara di bawah ini :“Jadi, salah satu –dan mungkin satu-satunya- cara untuk mengembalikan gerakan Islam “on the right track” bukan dengan memberantas kemiskinan, tapi dengan dakwah. Sudah saatnya para kyai, ulama dan cendekiawan muslim berdakwah kepada generasi muda kelas menengah kota untuk mendalami ajaran Islam secara komprehensif (kaffah) bukan ideologi revivalisme-radikalisme Islam yang “instant dan siap saji”.Kesimpulan anda tersebut berdasarkan asumsi bahwa dari kalangan menengah perkotaan (yang secara ekonomi relatif mampu), yang cenderung tertarik pada ideologi revivalisme dan radikalisme Islam. Dan selanjutnya saudara contohkan melalui kasus Hizbut Tahrir dan PKS. Sebagaimana tulisan saudara yang saya kutip di bawah ini :“....Mencermati realitas sosial-ekonomi basis pendukung Hizbut Tahrir dan PKS di Indonesia yang sebagian besar kelas menengah kota, maka secara sederhana dapat disimpulkan bahwa kaum kelas menengah kota cenderung menyetujui paham revivalisme (dan juga radikalisme) agama (Islam).....”Perkenankan saya untuk mengkritisi pendapat saudara, pertama, saudara cenderung melakukan “penyederhanaan” dan “membatasi” ruang lingkup kajian tentang kecenderungan radikalisme agama di kalangan menengah di Indonesia hanya dengan mengkaitkannya dengan kasus Hizbut Tahrir dan PKS. Seakan-akan saudara mau menggiring wacana ini ke arah sebuah kesimpulan bahwa gerakan revivalisme & radikalisme itu tercermin dari kedua kelompok tersebut. Saudara katakan bahwa ideologi kelompok tersebut (PKS) adalah ideologi “impor” sementara saudara katakan diujung tulisan bahwa NU dan Muhammadiyah adalah organisasi “asli” Indonesia. Saudara tidak berlaku adil dalam memberikan informasi, jika nilai ideologi ya bandingkan dengan nilai ideologi. Bukan membandingkan “ideologi impor” dengan “organisasi asli”. Sebenarnya kalau kita mau jujur dalam membaca sejarah, nilai-nilai yang dianut NU dan Muhammadiyah juga tidak sepenuhnya “asli” nilai Indonesia. Melainkan juga hasil “percampuran” nilai-nilai lokal dengan nilai-nilai Islam yang memang pada awalnya bersal dari luar (Jazirah Arab). Organisasi Muhammadiyah di masa awal perkembangannya misalnya dengan gerakan TBC -nya (Tahayul, Bid’ah dan Khurafat) menunjukan bahwa berupaya “membersihkan” atau “memurnikan” nilai-nilai Islam yang berkembang di masyarakat pada waktu itu. Mungkin NU-lah yang sejak awal hingga saat ini masih memberi ruang untuk mengakomodir dan mengintegrasikan nilai-nilai dan kebudayaan lokal ke dalam kebudayaan Islam secara keseluruhan. Saya tidak mau berpanjang-panjang dalam masalah ini, namun seyogyanya saudara berlaku arif dan imbang dalam menyajikan informasi, agar tidak menimbulkan suatu dis-harmonisasi di antara sesama umat Islam. Karena menurut hemat saya tulisan saudara kontradiktif, dimana di satu sisi saudara menyarankan agar pihak Barat (AS, Israel dan Eropa) tidak “memprovokasi” umat Islam di Indonesia utk perang melawan teroris, namun disisi lain anda berusaha “memprovokasi” pembaca bahwa Hizbut Tahrir dan PKS sebagai kelompok yang cenderung setuju dengan revivalisme dan radikalisme agam Islam. Dimana sebenarnya posisi saudara ?Kedua, dari tulisan saudara, saudara menyarankan cara untuk mengembalikan gerakan Islam “on the right track” bukan dengan memberantas kemiskinan, tapi dengan dakwah. Sebenarnya mana yang perlu diberi prioritas, generasi muda kelas menengah kota atau kelompok miskin yang menurut data sensus pertanian 75 persen diantaranya ada di pedesaan sebagai petani gurem yang miskin dan rentan terhadap masalah rawan pangan (kelaparan). Radikalisme dan revivalisme ini tidak akan menjadi masalah besar jika hanya ada dalam wacana kelompok menengah perkotaan yang jumlahnya masih sedikit. Radikalisme ini baru bisa menjadi masalah besar jika sudah menyatukan ideologinya dengan jutaan orang miskin dan rawan pangan yang ada di pedesaan. Maka adalah sangat naif jika gerakan Islam hanya dilakukan melalui dakwah. Perlu adanya tindakan yang jauh lebih menyentuh akar persoalan, karena orang miskin jika didakwahi terus kemungkinan hanya menumbuhkan fatalisme, perlu adanya upaya-upaya riil untuk meningkatkan kesejahteraan hidup mereka. Sebenarnya, saudara sendiri sudah setuju bahwa radikalisme ada hubungannya dengan masalah kemiskinan (kesejahteraan) sebagaimana bagian tulisan saudara yang saya kutip di bawah ini :“...Mereka sebagaimana Osama bin Laden adalah kelas menengah yang kecewa terhadap kegagalan rezim sekuler di negaranya masing-masing yang gagal mewujudkan “kesejahteraan” dan tunduk terhadap kehendak Barat..”Saya mohon maaf, bukan bermaksud memojokan saudara, namun saya hanya sekedar saling mengingatkan agar kita lebih arif dan hati-hati dalam membuat sebuah kesimpulan, agar tidak merugikan pihak-pihak yang lemah (orang-orang miskin). Dalam pemikiran saya, organisasi NU dan juga Muhammadiyah memiliki “kekuatan” dan sumberdaya yang besar untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat pedesaan, karena pada umumnya, pengikut kedua organisasi ini adalah masyarakat kecil (terutama petani) yang tersebar di berbagai pelosok pedesaan. Dan seyogyanya dalam mensejahterakan masyarakat pedesaan, tidak hanya cukup dengan di dakwahi saja, melainkan perlu juga dibangun prakarsanya untuk mampu membangun dirinya sendiri agar tidak terus berkubang dalam kemelaratan. Dan nilai-nilai Islam ini selalu memberi nilai-nilai yang bersifat “jalan tengah”, sehingga mampu memberi alternatif dan solusi dari berbagai “pertentangan” yang ada dalam masyarakat. Saya bukan anggota NU, Muhammadiyah, Hizbut Tahrir, atau pun PKS. Saya hanya seorang muslim yang berkeinginan bahwa kita seharusnya mengurangi upaya-upaya untuk berlomba-lomba membesar-besarkan perbedaan, namun seharusnya kita berlomba-lomba untuk berbuat kebajikan. Perihal aqidah, bukan kita yang diberi tanggungjawab untuk mengawasinya, kita hanya diberi tugas untuk menyampaikan kebenaran dan menegakan keadilan. Wallahu’alamWasalam.

alfanny (alfa) menulis:Terima kasih kepada Mas Rais atas komentarnya. Saya ingin beri sedikit klarifikasi atas poin-poin dari Mas rais.1. Dibandingkan dengan HT dan PKS, jelas bahwa NU dan Muhammadiyah lebih "asli" Indonesia. Namun apakah yang "asli" atau "produk lokal" lebih "berkualitas" daripada yang "impor", jelas itu masih bisa didiskusikan.2. Posisi saya adalah pertama, mengkritik Barat yang tidak adil terhadap dunia Islam dan kedua mengkritik HT dan PKS sebagai organisasi revivalis-radikalis yang melakukan romantisasi, glorifikasi dan mistifikasi sejarah Islam. Umat Islam harus dicerdaskan bahwa sejarah Islam sejak masa Rasulullah hingga kini sarat dengan dinamika yang pasang maupun surut.3. Memberantas kemiskinan dan dakwah terhadap kaum revivalis-radikalis adalah dua soal yang berbeda. Prioritas negara (dan kita semua) jelas adalah memberantas kemiskinan terutama kaum buruh tani (peasant) di pedesaan. Sementara dakwah terhadap kaum revivalis-radikalis adalah upaya meminimalisir potensi kekerasan atas nama agama yang bisa timbul karena "provokasi" Barat.4. Sekali lagi, radikalisme (bisa saja) terkait dengan kemiskinan. Tapi, orang miskin belum tentu bersikap radikal. Dan (ternyata) radikalisme juga melanda kelas menengah kota sebagaimana data-data yg saya uraikan.5. Saya tidak bermaksud membesar-besarkan perbedaan di antara umat Islam. Namun, sudah saatnya umat Islam paham tentang perbedaan di antara sesama kelompok Islam. Biarkan umat Islam memilih organisasi/ kelompok Islam mana yang benar-benar berjuang untuk izzul Islam wal muslimin dan caranya juga sesuai dengan ajaran Rasulullah saw.

rais sonaji (rais) menulis:Saudara Alfanny yth.,Alhamdulillah, berarti ini hanyalah masalah kekurangan saya dalam memahami dan menafsirkan tulisan saudara. Karena dengan klarifikasi dari saudara tsb., saya sekarang lebih mudah untuk memahami tujuan dan esensi tulisan saudara. Saya sepakat dengan pemikiran saudara, bahwa adalah sebuah fakta yang tidak dapat kita bantah dan juga sudah merupakan sunatullah bahwa keberagaman itu ada dalam kehidupan ini. Upaya-upaya untuk menjadikan umat ini satu dan seragam adalah upaya-upaya yang utopis dan pasti akan menemui kegagalan. Bahkan Rasulullah SAW pun pernah ditegur-Nya tentang permasalahan ini. Memang menurut hemat saya, biarkan keberagaman itu tetap ada. Karena keberagaman lahir dari fakta bahwa setiap individu ini terlahir unik. Kita tidak mungkin menjadikan umat ini satu dan seragam (linier), yang mungkin adalah mencari anasir-anasir persamaan dari keberagaman atau mencari benang merah persamaan dari keberagaman itu. Benang merahnya sebenarnya yaitu kebenaran dan keadilan. Namun ini pun menjadi masalah karena keterbatasan kemampuan manusia utk menjangkau kebenaran mutlak secara utuh. Sehingga pada tataran realitas, meskipun kebenaran mutlak itu hanya satu, namun pada faktanya kebenaran yang difahami manusia adalah kebenaran yang beragam dan berlapis. Ibarat kita mengelupas kulit bawang, maka demikian pula dengan kebenaran yg difahami manusia pada kenyatannya berlapis-lapis.Jadi kesimpulannya, biarkan kebenaran itu difahami secara beragam, namun tetap tanpa mengurangi upaya kita utk mencari, menemukan serta menyatakan kebenaran yang sesungguhnya. Karena akan selalu ada harapan dan peluang ditemukannya benang merah yg membawa kepada kebenaran yg relatif dekat dengan kebenaran mutlak. Maka kewajiban kita bukanlah berlomba-lomba berbuat kebajikan untuk menyatukan keragaman menjadi satu kebenaran, melainkan sebaliknya, melalui keberagaman kita berlomba-lomba berbuat berbuat kebenaran dan kebajikan, biarkan nanti Allah SWT dan Rasul-Nya yang akan menilainya.Terimakasih atas penjelasannya.wasalam.

Miftah (Takul) menulis:Lek Alfany, maaf sebelumnya. Jika saya perhatikan, baik dari tulisan maupun obrolan-obrolan santai, pandangan-pandangan anda terlalu hiperbolis dalam satu issu saja; “gerakan revivalis di Indonesia”. Padahal, jika kita mau menelisik lebih jauh lagi, ada persoalan-persoalan yang agaknya anda “skip” (loncati) mengenai fenomena keberagamaan yang terjadi di Indonesia. Di sini saya hendak mengomentari agak panjang tentang tulisan ini khususnya, dan umumnya tentang pandangan-pandangan anda yang saya ketahui.Saya katakan di sini, secara garis besar tulisan anda ini ‘menyibak’ tentang tindakan intolerant yang dilakukan oleh kelompok Islamis di Indonesia. Tapi anda juga harus tahu bahwa beberapa praktek intolerant di Indonesia yang mencuat akhir dekade ini merupakan fenomena fundamentalisme atau konservatisme Islam, yang oleh beberapa ahli sering dikaitkan sebagai bentuk respon atas sisi “gelap” globalisasi, seperti kebobrokan moral dan melonjaknya kemiskinan, tidak bisa dipungkiri menjadi faktor paling dominan yang menyebabkan perpecahan bangsa. Fundamentalisme atau konservatisme Islam, menciptakan sekaligus menggerakkan sekelompok masyarakat, yang berdalih menyelamatkan moralitas dan keyakinan agama tertentu serta bermimpi sangat mulia mengentaskan seluruh problem turunan dari krisis ekonomi yang melanda negeri ini, dengan kecenderungan mengabaikan kemajemukan bangsa.Bahasa lain yang dikemukakan oleh para pengusung Islam Liberal bahwa fundamentalisme Islam sebenarnya adalah gerakan yang mencoba melakukan pembaharuan Islam rendah menjadi Islam tinggi, meskipun dalam kenyataannya tradisi yang direvitalisasi oleh mereka tersebut hanyalah varian dari Islam rendah juga. Islam rendah dan Islam tinggi yang dimaksud di sini merupakan istilah yang diambil dari Ernest Gellner yang menyatakan tradisi tinggi (great tradition atau high tradition) adalah Islam ‘resmi’ atau Islam yang dianggap lebih dekat kepada kitab suci dan umumnya tumbuh di perkotaan. Sementara tradisi rendah merupakan perwujudan dari budaya-budaya lokal.Dalam praktiknya di Indonesia, semangat purifikasi dan fundamentalisme keagamaan semacam ini muncul tidak saja berbentuk pergulatan ide dan gagasan, tetapi telah berwujud gerakan. Munculnya orma-ormas Islam baru lengkap dengan gerakan massanya seperti jaringan Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir Indonesia, Majlis Mujahidin Indonesia, Front Pembela Islam, Laskar Jihad dan sebagainya menjadi tanda bahwa tantangan itu telah benar-benar bermain pada level praksis.Mereka telah menghadirkan alternatif nyata warna keberagamaan yang lain di Indonesia, keberagamaan yang mereka sebut ‘otentik”, Islam dan kaffah yang mestinya diberlakukan di seluruh dunia. Karena alasan mereka ini, mereka memaksakan suatu nilai dan norma tertentu yang diyakini paling sahih dengan menafikan realitas masyarakat, yang bertabur dan berserak beragam nilai dan norma dari seluruh elemen negeri ini, baik agama dan kepercayaan, budaya sosial atau pun politik. Dengan berbagai cara, meskipun dengan menggunakan kekerasan (seperti pembakaran gereja, pengusiran jamaah Ahmadiyah, menekan dan mempengaruhi aparat negara menangkap Lia Aminuddin pimpinan jamaah Salamullah, kasus Ustad Roy, dan sebagainya), mereka menuntut kepada siapa saja untuk mengikuti dan mematuhi nilai dan norma yang mereka imani. Lebih jauh lagi, mereka juga menuntut nilai-nilai yang mereka yakini sebagai satu-satunya yang paling benar untuk dijadikan aturan resmi dan legal. Cara beragama seperti ini diyakini dapat menimbulkan konflik antar agama, seperti terjadi di Ambon dan Maluku yang melibatkan perang saudara antara suku Bugis yang beragama Islam dan suku Ambon yang beragama Kristen dan berlanjut di Poso antara pemeluk Islam dan Kristen dengan korban yang besar dan kualitas kekerasan yang mengerikan. Sebab, mereka yang memahami agama dengan sangat eksklusif ini tidak mau menerima kebenaran di luar dari yang diyakininya.Dengan demikian, seharusnya ada penjelasan yang komprehensif prihal tema tuliasan anda ini: “penyebab radikalisme agama”. Bahwa ternyata gerakan revivalis seperti PKS, HT dan kelompok radikal lainnya di Indonesia merupakan gerakan kaum fundamentalis yang pada hakikatnya dipengaruhi oleh banyak faktor sekaligus konsekuensi yang ditimbulkan dari gerakan mereka tersebut. Selain itu, gerakan internalisasi ajaran-ajaran di hampir semua sektor dengan model indoktrinasi, terutama sektor pendidikan, pada akhirnya berpotensi konflik agama, baik inter-agama maupun intra-agama. Demikian yang barangkali perlu saya tambahkan. Terima kasih.

ega marjuki (ega) menulis:Kemiskinan merupakan suatu bentuk radikal dari agama karena agama tidak mengajarkan umatnya untuk menjadi miskin. Orang yang kekurangan dalam hal harta tetapi masih kaya sabar maka radikal tersebut masih dapat diminimalisasi. Ketika seseorang mempunyai harta yang berlebih dan kaya akan rasa syukur maka radikal tersebut juga dapat diminimalisasi. Yang Jelas Tidak ada ajaran radikal agama. Hanya manusia yang melebih-lebihkan hingga menyebabkan gaya hidup berfoya-foya dalam praktik beragama.Kenapa pertanyaan itu dalam judul tulisan ini muncul? Apakah karena kemiskinan juga?Semoga kita tetap tenang dan berfikir dengan kepala dingin. Untuk apa menjelaskan golongan yang kita tidak sepakat atau kita menolaknya. Dengan begitu secara tidak langsung kita terjebak dalam program mempromosikan golongan atau partai tertentu.Masih banyak yang belum kita ketahui, apalagi kita pahami tentang ajaran yang kita yakini kebenarannya. Kekayaan ilmu dan khasanah ajaran yang kita yakini dan kita anut begitu luas dan dalam, sudah merasa cukupkah kita mencintai ajaran tersebut hingga kita sudah berani belajar memcaci maki bahkan membenci partai atau golongan lain, yang memang sengaja Allah ciptakan agar kita mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, mana yang radikal mana yang humanis.Adakah kesia-siaan dalam ciptaan Allah. Sungguh kita perlu banyak membaca dan memahami akan ayat-Nya dengan benar sehingga kemiskinan ilmu menjadi energi besar bagi kita untuk selalu mau menuntut ilmu.Mempromosikan partai atau golongan yang kita yakin itu tidak benar, menjelaskan sesuatu yang salah, semua memang bermanfaat, tetapi masih banyak yang perlu kita gali dan kita kaji tentang ajaran yang kita yakini kebenarannya. Bagi saudaraku sekalian tolong nasehat dan bagilah ilmu pada manusia bodoh ini [e mail :e94@plasa.com]. Maaf apabila ada salah tulis atau salah kata. Titip salam untuk saudaraku semua.

Pamungkas, Didik (santri anom) menulis:anno bner kata gus dur...beliau sangat menghargai perbedaan...yang jelas menurut saya ikhwanul muslimin. HT itu sudah meresahkan...mereka tidak mau menghargai perbedaan, menganggap diri mereka yg paling benar...menyalahkan muslim yang tidak satu haluan dengan mereka..bahkan tidak segan mengkafirkannya

Wednesday, September 12, 2007

Hari-Hari Ketidaksetiaan



Hari-hari ini kita dipertontonkan oleh “teladan” ketidaksetiaan dari para public figure kita. Ada anggota DPR yang merekam “adegan” ketidaksetiaannya di ponsel. Juga ada dai kondang yang mengemas ketidaksetiaannya dalam bahasa relijius.

Yang pasti korban ketidaksetiaan itu adalah kaum perempuan! Kaum perempuan dalam atmosfer patriarki memang menjadi kaum lemah yang dipinggirkan oleh para rezim, terutama rezim fasis relijius. Masih segar dalam ingatan kita ketika rezim fasis relijius tersebut menolak presiden perempuan dalam event Pemilu 1999. Semasa masih menjadi mahasiswa UI, penulis pernah dipanel dalam sebuah diskusi di Masjid UI membahas presiden perempuan. Pada momen tersebut, terlihat sekelompok mahasiswa beraliran fasis relijius menolak mentah-mentah presiden perempuan. Penulis pun hanya mengajukan argumen sederhana ; Bahwa kita semua lahir ke dunia tidak pernah tahu apakah lahir sebagai laki-laki atau perempuan?

Masih terngiang cerita kyai dan alim ulama di kampung-kampung tentang kaum jahiliyah Arab yang mengubur anak perempuannya hidup-hidup! Tentang perempuan-perempuan yang tidak berhak mendapatkan warisan bahkan menjadi barang warisan. Islam-lah yang kemudian mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan. Tidak ada lagi anak perempuan dikubur hidup-hidup. Tidak dijumpai lagi perempuan yang menjadi barang warisan. Mungkinkah bangsa kita ingin meniru perilaku Arab jahiliyah. Selalu menyakiti kaum perempuan yang justru adalah ibu kita sendiri, yang melahirkan kita!

Berani sumpah! Setiap kaum perempuan akan sangat sakit hati bila menyaksikan ketidaksetiaan dari pasangannya. Toh, kaum laki-laki juga akan marah bila melihat istrinya selingkuh dengan pria idaman lain. Sama saja bukan? Mungkinkah bangsa kita memang bangsa yang tidak setia?

Dulu, di masa Revolusi Kemerdekaan, setiap pejuang republiken pasti akan menghukum mati para pengkhianat yang membocorkan rahasia perjuangan kepada Belanda. Bahkan PM Sutan Syahrir sempat diculik oleh para pejuang yang meragukan kesetiaan Syahrir hanya karena Syahrir bersedia berkompromi dalam perundingan dengan Belanda. Para pejuang republikan saat itu memang hanya mengenal warna hitam putih. Setia kepada Republik, merdeka 100% atau menjadi antek Belanda.

Banyak juga kaum pribumi yang tidak setia pada republik. Mereka pun terbujuk oleh Van Mook untuk selingkuh dengan Belanda dan keluar dari republik. Negara-negara boneka pun terbentuk. Ada Pasundan, NIT dan lain-lain.

Ke belakang lagi, di masa pergerakan nasional, pimpinan Sarekat Islam menguji kesetiaan anggotanya dengan menerapkan disiplin partai. Anggota SI yang masih rangkap keanggotaan dengan partai lain, terutama ISDV (Indische Sociaal-Democratische Vereeniging) diharuskan memilih salah satu, SI atau ISDV. Sejarah membuktikan bahwa para anggota SI “Merah” memilih keluar dari SI dan membentuk Sarekat Rakyat, cikal bakal PKI.

Jadi, semuanya tergantung pada kita semua. Mau setia atau tidak setia? Hanya ada dua pilihan itu. Namun, rupanya kini kelompok fasis relijius lebih cerdik bagaikan sang kancil. Ketidaksetiaan dikemas dalam bahasa relijius. Dan kembali, agama –versi kelompok fasis rejius- harus bertentangan dengan hati nurani. Entah sampai kapan. Wallahu a’lam.