Friday, February 24, 2006

PKS Mendominasi di Pondokcina

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mendominasi hasil pemilihan umum di Kelurahan Pondok Cina dan Kemiri Muka, di Jalan Margonda, Kodya Depok.

Koordinator Jaringan Pendidikan Pemelihan Untuk Rakyat (JPPR), Beji Depok, Alfanny di Depok, Senin (5/4), mengatakan, PKS setidaknya menang sekitar 50 persen di dua kelurah tersebut. Di Kelurahan Kemiri Muka yang menerima rata-rata 200 orang pemilih per-TPS (tempat pemungutan suara), seperti di TPS 78,76, 74, 80, 55, 54, 51, PKS memenangkan 20-25 persen suara.
Sedangkan di Kelurahan Pondok Cina, PKS unggul dari partai lainnya seperti di TPS 16, 18, 19, 20, dan 24 yang juga menampung rata-rata 200 pemilih per-TPS. Di semua TPS itu PKS menang disusul secara bergantian oleh partai lainnya seperti PBR, Partai Golkar dan PAN, PKB. "Yang menarik dari pemilu kali ini PDI-P, partai yang memerintah saat ini, tidak masuk dalam tiga besar," kata Alfanny.(Ant/nik)

Kaum Muda Islam, Mendayung diantara dua karang

Bila founding father kita, Bung Hatta pernah mengibaratkan bahwa Pancasila bagaikan mendayung di antara dua karang, sosialisme dan liberalisme, perumpamaan tersebut menemukan relevansinya pada kehidupan kaum muda Islam tanah air yang juga kini harus mendayung di antara dua karang, liberalisme dan revivalisme.
Karang pertama liberalisme kini tengah digandrungi sejumlah kaum muda Islam yang mengklaim dirinya sebagai pengusung Islam liberal-progresif-transformatif yang menawarkan agenda pencerahan terhadap pola pikir konservatif umat Islam yang literal dan dogmatis. Karang kedua revivalisme tidak kalah banyak pengikutnya. Di sejumlah kampus center of excellent, mereka menanamkan pengaruh dan dominasinya. Berbekal paket doktrin keagamaan yang diimpor dari Timur Tengah, mereka dengan percaya diri menyebarkan dakwah “Islam kaffah” ke masyarakat melalui berbagai jalur, baik politik, kultural, sosial-ekonomi dan bahkan –kadang-kadang- kekerasan!
Anatomi Karang Liberalisme
Karang liberalisme dihuni oleh sejumlah anak muda berlatar belakang pendidikan keagamaan tradisional yang menamatkan pendidikan tingginya di IAIN. Aktivitas mereka seperti seminar, diskusi, pelatihan, advokasi, community development dan meramaikan wacana sosial keagamaan di media massa –diakui atau tidak- didukung pendanaannya oleh sejumlah funding asing dari Barat yang mempunyai agenda liberalisasi ekonomi dan politik negara-negara berkembang. Berbagai istilah dari Barat yang terdengar asing bagi si Ujang, pemuda desa di pelosok Jawa Barat, dengan gagah mereka sosialisasikan. Jadilah si Ujang harus mengernyitkan kening untuk sekedar memahami makna semantik istilah-istilah seperti civil society, emansipatoris, islam liberal versus islam literal, multiculturalism, gender, human rights dan sebagainya.
Tanpa disadari, kaum muda Islam yang berpijak di atas karang liberalisme menjadi corong dan backing vocal terbaik bagi aspirasi dan agenda dunia Barat yang –menurut Soekarno- tengah mencoba menjajah kembali Asia-Afrika, neo-kolonialisme dan imperialisme. Barat yang terpaksa mendekolonisasi Asia-Afrika pasca Perang Dunia II kini mencoba menjajah kembali Asia-Afrika, bukan lagi dengan senjata dan mesiu tapi dengan wacana “Pasar Bebas” dan “Liberalisme”.
Barat ingin menjadikan Asia-Afrika sebagai daerah pemasaran hasil industrinya yang over supply. Perusahaan Rokok Philip Morris yang kehilangan pasarnya di Eropa dan Amerika akibat pengetatan larangan merokok di tempat umum, mengalihkan investasinya ke Indonesia, dimana masih banyak bapak-bapak yang rela menghabiskan uangnya untuk merokok daripada membelikan susu untuk anaknya!
Untuk itu, pasar Asia-Afrika harus diliberalisasi. Masuklah IMF dengan SAP-nya (Structural Adjustment Program) yang memaksa negara-negara berkembang membuka pasarnya bagi produk-produk Barat sekaligus mendesak Asia-Afrika menghapuskan subsidi sosial bagi kaum miskin dengan argumen efisiensi anggaran dan menghilangkan distorsi pasar.
Liberalisme, itu kata kuncinya. Semua sektor harus diliberalisasi. Politik diliberalisasi dengan eksploitasi wacana demokrasi sehingga demokrasi tinggal prosedur-prosedur formal, dimana tangan-tangan otoritarian, sektarian dan korup kembali tampil di panggung melalui pintu demokrasi!
Kebudayaan diliberalisasi (Baca: Westernisasi) sehingga aspirasi dan tradisi lokal tidak mendapatkan apresiasi dan mengalami proses marjinalisasi. Kebudayaan hedonis dan “Sastra Lendir” –meminjam istilah Pramoedya Ananta Toer- mendominasi media publik dan meracuni pola pikir generasi muda.
Mungkin kaum muda Islam yang menapakkan kakinya di karang liberalisme bermasud baik, hanya sekedar mengkritisi doktrin dan penafsiran keagamaan yang sudah tidak relevan dengan semangat esensial Islam. Namun, tanpa disadari karang liberalisme dimana mereka berpijak merupakan karang yang tumbuh di atas pantai neo-imperialisme.
Anatomi Karang Revivalisme
Mereka yang berpijak di karang revivalisme sekarang memasuki babak baru ketika jalur politik yang mereka tekuni mulai membuahkan hasil. Melalui pintu demokrasi, kaum muda Islam revivalis –bersama-sama para koruptor dan diktator- meraih kursi-kursi kekuasaan. Target utama kaum muda Islam revivalis sederhana, mengembalikan kejayaan Islam seperti pada masa Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin hingga kejatuhan Turki Utsmani, dimana “syariat Islam” dan “negara Islam” ditegakkan secara kaffah.
Seakan mengalami amnesia, kaum muda Islam revivalis lupa bahwa sejarah Islam tidaklah gilang-gemilang seperti yang mereka igaukan. Pertumpahan darah, kilatan pedang dan perpecahan kental mewarnai sejarah Islam, terutama sepeninggal Rasulullah. Kini, semangat keberagamaan mereka disusupi oleh semangat resistensi terhadap Barat yang diskriminatif dan eksploitatif.
Alih-alih menyebarkan Islam yang rahmatan lil alamiin, citra Islam kini tercoreng oleh serangkaian aksi-aksi intoleransi terhadap kaum minoritas. Non-muslim tidak bisa lagi beribadah dengan tenang seperti di masa Rasulullah, kini kaum non muslim harus menggenapkan dirinya menjadi puluhan jamaah bila ingin mendirikan rumah ibadah. Sekelompok masyarakat –yang sudah mengaku dirinya muslim- juga harus menelan pil pahit ketika masjidnya dihancurkan oleh saudaranya sesama muslim, persis seperti Muawiyah membantai habis cucu Rasulullah, Hasan dan Husein.
Mungkin kaum muda Islam revivalis bermaksud baik. Barat yang diskriminatif dan eksploitatif harus dilawan! Tapi agaknya mereka melupakan ajaran “amar ma’ruf nahi munkar” versi Rasulullah. Kini “amar ma’ruf nahi munkar” dilakukan dengan cara-cara yang munkar!
Harus ada “The Third Way”, Mungkin Anda Orangnya?
Sebagaimana Anthony Giddens yang merintis “The Third Way” sebagai alternatif karang sosialisme dan liberalisme, maka kaum muda Islam Indonesia harus mulai mendesain “The Third Way” sebagai alternatif karang liberalisme dan revivalisme. Sudah cukuplah kebingungan si Ujang, pemuda desa Tasikmalaya lulusan SMP yang kebingungan menyaksikan teman-temannya yang kuliah di kota bertengkar (Baca: Berwacana!) dengan penggalan ayat-ayat Tuhan dan istilah-istilah asing. Si Ujang tidak butuh wacana, ia hanya butuh lapangan kerja yang makin langka di republik ini. Mungkinkah anda orangnya, sang perintis “The Third Way”. Walahu a’lam.
Penulis adalah lulusan Ilmu Sejarah UI dan alumni PMII. Kini mengasuh website http://www.gusmus.net/

Sarbumusi Desak Megawati Urus Buruh Migran

99 TKW di Penjara Kuwait, Sarbumusi Desak Pemerintah Cekatan
Jakarta, NU Online
Angka 99 bagi warga nahdliyin adalah angka mistis dan mengandung nuansa religi. Namun angka 99 bagi Sarikat Buruh Muslimin (Sarbumusi) NU adalah angka yang mengerikan. Bagaimana tidak, pada saat para pemimpin negeri ini sibuk mengurus dirinya sendiri, 99 tenaga kerja wanita Indonesia mendekam di penjara negeri Kuwait dalam keadaan mengenaskan.
Seperti dilaporkan, dalam kunjungannya ke rumah tahanan TKW milik departemen Imigrasi di distrik Sulaiba Kuwait, Menakertrans Jacob Nuwawea disambut deru tangis TKW. Diantara mereka terdapat sekitar 10 TKW menggendong anak bayi dari hasil hubungan gelap dengan penduduk setempat atau sesama pekerja asing di Kuwait.
Tragisnya, mereka tidak pernah mengetahui nasib mereka sendiri selama berbulan-bulan dalam tahanan dengan kondisi sangat mengenaskan. Mereka tidak diberi makanan yang layak, tidak ada sabun, pasta gigi dan keperluan dasar lainnya.
Pihak Sarbumusi menyatakan kecewa dengan perwakilan Indonesia di negeri para Ameer tersebut. "Kedatangan Pak Menteri Jacob ke lokasi penahanan mungkin menghibur, akan tetapi apakah urusan mereka dapat diatasi?"tanya Wakil Sekjen Sarbumusi Alfanny, SS kepada NU Online, Rabu.
Bagi mantan aktivis PMII Universitas Indonesia tersebut, para buruh migran Indonesia tidak selayaknya dikirim ke luar negeri tanpa dilengkapi perlindungan hukum dan jaminan lain seperti asuransi jiwa dan kesehatan. "Kita tidak sedang ekspor barang komoditi, mereka adalah manusia yang harus diperlakukan secara manusiawi. Seharusnya ada kesepakatan tingkat negara dengan negara, G to G agar buruh migran kita terjamin dan merasa nyaman selama bekerja,"lanjutnya.
Yang terjadi, jelas Alfanny, pemerintah banyak tidak mau tahu dan perwakilan pemerintah di negara bersangkutan kurang memperhatikan hal yang demikian. Hal yang sama juga terjadi di Arab Saudi dan Malaysia. "Oleh karena itu, sebagai Sarbumusi meminta betul kepada menteri tekait untuk membicarakan masalah ini secara lintas sektoral dan secara tuntas. Ini untuk menghindari penyelesaian Ad Hoc yang sampai sekarang masih digemari pejabat. 99 TKW itu harus cepat diselamatkan. Tindakan pemerinah harus kongkrit,"ujar Alfanny lagi. (MA)

Sarbumusi Desak Megawati Urus Buruh Migran

Sarbumusi Desak Megawati Urus Buruh Migran

Jakarta, NU Online
Sarikat Buruh Muslim Indonesia (Sarbumusi) meminta pemerintahan Megawati tidak sibuk mengurus PDIP saja, namun juga memperhatikan nasib buruh migran Indonesia di Singapura yang nyawanya sudah di ujung tanduk.
“Ini pemerintahan yang naif. Mengaku mengurus rakyat kecil, akan tetapi lima orang anak bangsa akan dihukum mati di Singapura, tidak ada yang membela. Megawati sendiri selalu tidak tertarik dengan hal demikian, padahal kasus ini membutuhkan diplomasi tingkat tinggi,"ujar Wakil Sekretaris Jenderal Sarbumusi Alfanny, SS kepada NU Online, Jumat (12/3).
Seperti diberitakan, Sundarti Suprianto, Purwanti Panji, Juminem, Siti Aminah dan Sumiyati, saat ini dalam kecemasan dan kesedihan mendalam, karena menghadapi ancaman hukuman mati. Mereka adalah buruh migran perempuan Indonesia yang bekerja di Singapura dan dituduh membunuh majikanya.
Menurut Alfanny, para buruh tersebut tidak sepenuhnya disalahkan. Mereka berhak mendapatkan perlindungan dan pembelaan dari warga bangsanya. "Sebab, perlakuan buruk majikan juga menyebabkan konflik buruh migran dan majikan tidak dapat dihindari. Saya kira, tuduhan pembunuhan terhadap majikan yang dilakukan oleh buruh migran banyak disebabkan karena buruh migran merasa diperlakukan semena-mena, "jelas aktivis organisasi buruh di bawah PBNU tersebut. Dalam 2 tahun terakhir ini, paling tidak 5 buruh migran Indonesia harus menghadapi ancaman hukuman mati karena dituduh membunuh majikannya.
Sementara, Federasi Organisasi Buruh Migran (FOBMI) dan Perhimpunan Indonesia untuk Buruh Migran Berdaulat (Migrant Care) dalam keterangan persnya menyatakan bahwa pekerja rumah tangga (domestic workers) di luar negeri harus menghadapi kondisi kerja yang buruk 3 D: Dirty, Dangerous, Dark).
Perlakuan buruk majikan terhadap pekerja rumah tangga bisa dalam bentuk tindak kekerasan, pelecehan seksual, perkosaan dan tidak diberi upah. Suasana buruk lain yang dialami adalah mereka bekerja tanpa alat pengaman. Kondisi rentan tersebut terjadi Singapura. Sampai saat ini (sejak tahun 1999-2004) angka kematian kecelakaan kerja sudah mencapai 98 orang. Kematian ini disebabkan karena mereka terjatuh dari ketinggian.
Sarbumusi mendesak pemerintah untuk segera melakukan pembicaraan dengan pemerintah Singapura, sebab hukuman pidana dapat dipertimbangkan demi alasan kemanusiaan dan yang lebih penting, perlu investigasi lebih lanjut untuk mencari kebenarannya. (MA)

Wednesday, February 08, 2006

Gus Mus soal Karikatur Nabi : "Umat Islam Tidak Boleh Marah Demi Marah"

Pemuatan karikatur Nabi Muhammad SAW yang bernada pelecehan terhadap Islam di koran Denmark, Jyllands-Posten dan surat kabar Eropa lainnya mendapatkan reaksi keras dari umat Islam sedunia. Di Syiria, Kedutaan Denmark bahkan dibakar oleh ribuan massa. Menanggapi hal tersebut KH Mustofa Bisri menyatakan bahwa umat Islam memang seharusnya marah, namun dia menambahkan bahwa umat Islam "tidak boleh marah demi marah".

Dihubungi via telepon oleh reporter www.gusmus.net, Gus Mus yang masih berada di Tanah Suci menyatakan bahwa karikatur tersebut memang telah melewati batas dan umat Islam memang seharusnya marah dan mengecam pemuatan karikatur yang melecehkan Nabi tersebut. Seperti diketahui, tidak hanya koran Denmark, Jyllands-Posten yang memuat karikatur tersebut, namun sejumlah koran Eropa juga memuatnya.Namun di sisi lain, Gus Mus berpendapat bahwa umat Islam tetap harus berlaku adil dalam melampiaskan kemarahannya. Umat Islam tidak boleh menghakimi orang yang tidak bersalah. "Tidak semua orang Denmark tolol seperti pembuat karikatur itu, bukan", ujar Gus Mus. Gus Mus kemudian menyitir ayat Al Qur'an yang berbunyi, "...Janganlah Kebencianmu terhadap suatu kaum menyebabkan kamu berlaku tidak adil..". (Alf/Alx)

Tuesday, February 07, 2006

Bila Buah jatuh Jauh dari Pohonnya

“Buah jatuh tak jauh dari pohonnya”. Itulah pepatah yang menggambarkan karakter seorang anak yang berperilaku (hampir) sama seperti orang tuanya. “Like father, like son”, begitulah padanan pepatah tersebut dalam khazanah sastra Barat. Memang sangatlah wajar bila seorang anak berperilaku seperti orang tuanya. Orang tua memang berperan besar dalam membentuk karakter dan kecenderungan pribadi seorang anak. Dalam sebuah hadits bahkan ditegaskan bahwa, “setiap anak lahir dalam keadaan fitrah, namun orang tuanyalah yang menjadikannya sebagai yahudi, nasrani ataupun majusi”

Dalam konteks politik Indonesia, banyak tokoh politik saat ini yang merupakan keturunan para tokoh pergerakan nasional dan perintis kemerdekaan. Sekedar menyebut nama, misalnya Megawati Soekarnoputri yang berhasil meraih tahta kepresidenan, seakan meniru ayahnya, Soekarno, presiden pertama republik ini. Walaupun banyak ahli sejarah yang berpendapat bahwa Megawati bukanlah “anak ideologis” Soekarno, namun sedikit banyak langkah politiknya banyak diinspirasikan sang ayah.
Namun, kini kita melihat banyak kaum muda mencoba membangun identitasnya sendiri yang sangat berbeda dengan karakter orang tuanya. Sudah banyak contoh dalam kehidupan di masyarakat karakter seorang anak berbeda jauh dengan orang tuanya. Dalam ranah kehidupan keberagamaan, misalnya, kita menjumpai lahirnya sebuah generasi muda muslim baru yang tidak pernah kita jumpai akar sejarahnya di masa lampau. Generasi muda muslim baru tersebut tidak pernah menjadikan pemikiran tokoh-tokoh Islam Indonesia di masa lampau seperti KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asya’ari dan Cokroaminoto sebagai rujukan berpikirnya. Mereka lebih merasa “nyaman”, “benar” dan “afdhol” merujuk pada tokoh-tokoh Islam Timur Tengah seperti Sayyid Quthb, Hasan al-Banna dan Yusuf Qardhawi. Secara kebetulan para tokoh tersebut adalah para pioner Ikhwanul Muslimin, sebuah organisasi Islam berbasis di Mesir yang mencita-citakan terbentuknya sebuah imperium Islam di bumi, sebuah Daulah Islamiyah. Ikhwanul Muslimin –dengan berbagai organisasi variannya seperti Jamaah Islamiyah (JI) dan Hizbut Tahrir (HT)- memang mencita-citakan sebuah Daulah Islamiyah, dengan slogan “Allah Ghayatuna, Rasulullah Qudwatuna, Qur’an Dusturuna, Jihad Sabiluna, Syahid Asma’amanina”. Dalam doktrin Ikhwanul Muslimin, Daulah Islamiyah wajib didirikan hingga “Tidak ada lagi fitnah (terhadap Islam) di muka bumi”. Cita-cita Daulah Islamiyah dalam pola pikir generasi muda muslim baru tersebut jelas merupakan suatu doktrin yang tidak pernah diajarkan oleh para orang tua kita di Indonesia, tidak diajarkan oleh KH Hasyim Asy’ari, tidak juga oleh KH Ahmad Dahlan dan tidak juga oleh Cokroaminoto. Generasi muda muslim baru tersebut telah tercerabut (dan mencerabutkan dirinya) dari akar sosial-kultural keislaman Indonesia yang tidak mencita-citakan Daulah Islamiyah. Dua organisasi Islam terbesar dan tertua di Indonesia, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sejak awal kelahirannya tidak pernah mempunyai mimpi “Daulah Islamiyah”.
Lalu, dari mana anak-anak muda tersebut sampai “bermimpi” dan “mengigau” tentang Daulah Islamiyah? Itulah efek globalisasi. Dunia bagaikan “Global Village” yang menyatu dan tanpa batas. Pemikiran, ideologi dan doktrin Daulah Islamiyah sampai dan melekat di otak anak-anak muda melalui media massa. Doktrin tersebut juga menyebar secara intensif pada periode 1990-an –dimana Orde Baru mencapai puncak kejayaannya- melalui pengajian-pengajian kecil dengan sistem sel di kampus-kampus dan sekolah-sekolah umum yang telah didepolitisasi oleh Orde Baru dari “politik aliran” sehingga ormas pelajar Islam seperti Ikatan Pelajar NU (IPNU) dan Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM) tidak diizinkan berkiprah. Tidak heran, bila generasi muda muslim baru yang sekolah dan kuliah di sekolah dan kampus negeri asing dengan pemikiran toleransi keagamaan dan kebangsaan ala NU dan Muhammadiyah. Mereka lebih akrab dengan doktrin Daulah Islamiyah ala Ikhwanul Muslimin.
Di masa reformasi, doktrin Daulah Islamiyah bahkan mendapatkan tempatnya di panggung politik. Generasi muda muslim baru tersebut mendirikan sebuah partai politik yang berlabel “partai dakwah”. Partai tersebut pun mampu meraih suara signifikan pada Pemilu 2004 dan bahkan berhasil mendominasi perolehan suara di ibukota Jakarta. Di level Civil Society, mereka mengibarkan bendera Hizbut Tahrir, sebuah organisasi Islam varian Ikhwanul Muslimin. Bila Ikhwanul Muslimin memperbolehkan sistem demokrasi sebagai sarana merebut kekuasaan dan menegakkan Daulah Islamiyah, maka Hizbut Tahrir sama sekali menolak sistem demokrasi. Hizbut Tahrir memilih cara-cara propaganda ekstra parlementer untuk mengkampanyekan Daulah Islamiyah.
Walhasil, kaum muda di sekolah dan kampus umum lebih akrab dengan pemikiran Hasan Al Banna dan Sayyid Quthb daripada keteladanan KH Ahmad Dahlan maupun semangat kebangsaan KH Hasyim Asy’ari. Seperti anak muda gaul yang lebih mengidolakan artis asing seperti Britney Spears dan Brad Pitt, maka generasi muda muslim baru tersebut juga lebih terpesona dengan doktrin Daulah Islamiyah ala Sayyid Quthb dan Hasan Al Banna daripada wacana “sekularisasi” versi Nurcholish Madjid maupun “pribumisasi Islam” Abdurrahman Wahid. Dalam pandangan generasi muda muslim baru tersebut, Cak Nur dan Gus Dur adalah “agen-agen zionis dan salibis” yang “tidak akan rela sampai kaum muslimin mengikuti jalan mereka (zionis dan salibis)”. Ditemukannya buku-buku karangan Hasan Al Banna dan Sayyid Quthb ketika polisi menggeledah rumah para tersangka teroris yang terkait jaringan Dr. Azahari – Noordin Top bukanlah sebuah kebetulan. Sedikit banyak doktrin Daulah Islamiyah yang diuraikan dalam buku-buku karangan Hasan Al Banna dan Sayyid Quthb telah menginspirasikan anak-anak muda tersebut sehingga rela menjadi pembom bunuh diri yang membunuh warga sipil yang tidak bersalah.
Sudah saatnya para kyai, alim-ulama, cendekiawan muslim dan intelektual muda muslim kembali ke tengah-tengah umat! Wahai para kyai, berhentilah mengurus pecah belah partai politik. Basahilah kembali bumi Indonesia dengan siraman taushiyah, petuah dan keteladananmu. Wahai para cendekiawan dan intelektual muda muslim, hentikanlah debat kusirmu di jurnal-jurnal yang jarang dibaca dan dimengerti umat. Cerdaskanlah teman muda sebayamu dengan dialog dan argumen yang sejuk dan dipahami umat. Sudah saatnya negara mengkoreksi total kebijakan Orde Baru yang “membersihkan” sekolah-sekolah dan kampus-kampus dari dua arus utama Islam Indonesia, NU dan Muhammadiyah. Biarkanlah anak-anak muda di sekolah-sekolah dan kampus-kampus “kembali ke pangkuan orang tua mereka” sehingga semangat keberislaman dapat digelorakan dalam satu tarikan nafas dengan semangat kebangsaan. Last but not least, sudah saatnya para anak muda yang mengklaim dirinya sebagai generasi muda muslim baru kembali berpijak di bumi nusantara. Galilah kembali pemikiran Islam otentik yang moderat dan toleran dari para kyai dan alim-ulama, orang tua kita sendiri! Wallahu A’lam.

Penulis adalah alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) di Universitas Indonesia