Saturday, August 23, 2008

Dia Milikku


semula ku tak tahu
engkau juga kan ingin memilikinya
bukankah ku lebih dulu
bila engkau temanku
sebaiknya tak mengganggu

reff:
dia untukku, bukan untukmu
dia milikku, bukan milikmu
pergilah kamu, jangan kau ganggu
biarkan aku mendekatinya

kamu tak akan mungkin mendapatkannya
karena dia berikan aku pertanda cinta
janganlah kamu banyak bermimpi, oooh

dia untuk aku

bukankah belum pasti
kamu juga kan jadi dengan dirinya
dia yang menentukan
apa yang kan terjadi
tak usah mengaturku

reff2:
dia untukku, bukan untukmu
dia milikku, bukan milikmu
lihatlah nanti, lihatlah saja
biarkan aku mendekatinya

kamu tak akan mungkin mendapatkannya
karena dia berikan aku pertanda juga
janganlah kamu banyak bermimpi, oooh

kusarankan engkau mundur saja, ooo

repeat reff
repeat reff2

dia untuk aku
bukan, dia untuk aku

Friday, August 15, 2008

Capres Independen, “Cinta (Baca: Politik) Tidak Harus Memiliki, Yang Penting Menikmati”

Oleh: Alfanny

Sudah ada dua anak muda yang mencalonkan diri sebagai presiden pada 2008 mendatang, secara independen tanpa partai. Padahal UU Pemilu mensyaratkan dukungan partai untuk mencalonkan diri sebagai presiden. Lalu partai apa yang akan dijadikan “kendaraan” politik mereka?

Fadjroel Rahman, mantan aktivis mahasiswa ITB 1980-an pun berkilah gesit, “dari 34 partai pasti ada yang bervisi sama dengan saya”. Senada dengan Fadjroel, Rizal Mallarangeng, doktor politik muda pun ngeles, ”Saya tertarik dengan Golkar dan PDIP”.

Padahal Soekarno muda di usia 20-an tahun seusai kuliah di THS (Technische Hoogeschool) –ITB sekarang- berikhtiar mendirikan PNI (Partai Nasional Indonesia) bersama Mohammad Hatta yang baru pulang kuliah di Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi), Rotterdam Belanda.

Soekarno muda dan Hatta muda mau bersusah payah mendirikan partai sebagai ”kendaraan” politik mereka dan melengkapi ”kendaraannya” dengan bermacam ”onderdil” seperti visi-misi, logo partai, AD-ART, pengurus dan yang terpenting ”penumpangnya” alias rakyat pendukung atawa konstituen.

Tidak ujug-ujug pasang iklan di TV atau cukup puas berbicara di seminar-seminar elitis di kafe yang hanya dihadiri puluhan orang atau sekali-kali menulis di media cetak. Soekarno muda merasa perlu berkeliling ke pelosok Jawa Barat untuk menyelami apa yang dirasakan dan dibutuhkan rakyat sampai ia bertemu sosok Marhaen, petani di pinggiran Bandung yang memberikan inspirasi kepada Soekarno muda untuk merumuskan sebuah ideologi proletarisme yang berbeda dengan komunisme-sosialisme, itulah marhaenisme. Sang Marhaen memang petani miskin, tapi dia memiliki semua perkakas kerjanya, dari cangkul, arit dan tanah. Marhaen tidak menjual tenaganya kepada pemilik kapital. Sang Marhaen tetap memiliki hasil produksinya dan dia tidak mengalami keterasingan (alienasi) sehingga harus lari pada agama dan menjadikan agama sebagai candu (religion is opium of the people).

Lebih heroik lagi Hatta muda. Ia mengorbankan segala-galanya untuk kemerdekaan republik, sampai ia berikrar ”Saya tidak akan menikah sebelum Indonesia Merdeka!”. Dan ikrar yang ”sangat berat” itu pun ditepatinya. Hatta baru menikah setelah proklamasi 1945, itu pun atas ”mak comblang” Soekarno.

Kurang otoriter apa kolonial Belanda? Soekarno muda dan Hatta muda pun dipenjara, dan PNI pun ”terpaksa” dibubarkan oleh Sartono. Namun selepas penjara, Soekarno dan Hatta pun ”tidak kapok” dan tetap percaya pada lembaga kepartaian sebagai salah satu pilar perjuangan dan pilar demokrasi. Soekarno bergabung dengan Sartono untuk membentuk Partindo (Partai Indonesia). Hatta bersama Sjahrir mendirikan reinkarnasi PNI, yaitu Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru).

Tapi tidak seperti partai-partai kini yang terpecah belah karena alasan-alasan pragmatis, maka Soekarno dan Hatta ”bercerai” partai karena alasan ideologis-metodologis. Soekarno beralasan bahwa partai yang kuat harus didukung oleh lautan massa yang dimobilisasi oleh kepemimpina kharismatis sementara Hatta berpendapat partai ideal adalah ”partai kader” yang mengutamakan kualitas kader daripada jumlah massa yang berkumpul di lapangan untuk mendengarkan pidato ketua umum partai. Maka di masa itu untuk menjadi kader PNI Baru susahnya minta ampun, harus melewati serangkaian training dan kursus kader. Bandingkan dengan sekarang, dimana untuk menjadi anggota partai cukup mengisi formulir pendaftaran. Malas isi formulir? Jangan khawatir, kini ada sebuah partai yang berkampanye direct selling, door to door, meminta fotokopi KTP -dengan berbagai alasan- dan minggu depan Kartu Tanda Anggota (KTA) sudah keluar padahal yang bersangkutan tidak pernah menyatakan tanda tangan persetujuannya menjadi anggota partai tersebut.

Kembali pada capres muda independen tersebut. Kenapa mereka sedari awal tidak mau berpartai? Kalau alasannya partai sekarang korup, ya buat partai baru dong. Dengan jaringan informasi, telekomunikasi dan infrastruktur yang jelas lebih canggih dibandingkan zaman Soekarno-Hatta muda dulu maka seharusnya mendirikan partai sekarang lebih mudah. Dengan berpartai, pemikiran individual seorang pemimpin akan mengalami proses uji publik sehingga lebih matang untuk kemudian berproses menjadi gagasan kolektif yang mewujud dalam visi-misi dan AD/ART partai. Dengan berpartai, seorang pemimpin berproses menuju kematangan sebagai pemimpin yang mampu mengakomodasi berbagai kepentingan rakyatnya.

So, Bung Fadjroel dan Bung Rizal, anda ingin berpolitik konkret dan tidak hanya sekedar berwacana, maka ”menikahlah”, masuklah atau dirikan partai, outputnya jelas, sang ”bayi ideologis” yang lahir dari ”rahim” politik partai anda. Jangan hanya sekedar berwacana, (maaf) ”masturbasi” politik yang hanya nikmat tapi tidak menghasilkan ”bayi ideologis”. Mungkin mereka memegang prinsip, ”cinta (Baca: politik) tidak harus memiliki, tapi yang penting bisa menikmati”.