Saturday, December 29, 2007

Takdir untuk Benazir

Oleh: Alfanny

Dunia mengutuk pembunuhan Benazir. Tapi ada juga segelintir orang yang "bersyukur" atas terbunuhnya Benazir. Mereka adalah para "bajak laut" yang mengatasnamakan Islam. Itulah kesan yang tertangkap jika anda membaca situs http://www.eramuslim.com/ tanggal 28 Desember 2007, dengan judul "Benazir Bhutto: Sang Ratu Dugem".

Ya, memang benar Benazir semasa kuliah di Oxford dan Harvard adalah "cewek gaul" yang cenderung liberal dan sering menghabiskan waktu malamnya di Diskotek. Tapi, dengan segala "ketidaksempurnaannya" tersebut, Benazir berjasa menyemai nilai-nilai demokrasi di Pakistan.
So, justru karena itulah, mungkin situs era muslim memvonis Benazir pro AS. Itulah simplifikasi tolol dari para "bajak laut" yang menuduh orang-orang yang menganut paham demokrasi sebagai antek AS. Lalu, kalau bukan demokrasi, mau menganut sistem apa? Alternatifnya, ada, yaitu komunis. Tapi, para "bajak laut" tersebut jelas anti komunis karena komunis itu atheis! (Ini kesimpulan tolol juga dari para "bajak laut").
Para "Bajak Laut" yang mengatasnamakan Islam pun mengajukan alternatif selain demokrasi dan komunisme, yaitu ISLAM! Menurut mereka, semua masalah di dunia mulai dari mo-limo sampai global warming, mulai dari pornografi sampai kenaikan BBM bisa diselesaikan dengan Islam.

Ya, ya, ya. Bagi muslim abangan yang "bertemu" Islam di SMA/ Kampus Umum setelah didoktrin seniornya, alternatif "Islam" yang "one stop service" pun amat memikat. Bayangkan, segala sesuatu bisa diselesaikan dengan solusi "Islam" atau "Syariah".
Dan muslim-muslim karbitan inilah yang mengkufurkan segala sistem di luar Islam, seperti demokrasi, komunis, liberalisme, etc. Kalaupun ada kelompok "muslim karbitan" atau "bajak laut" yang masuk sistem demokrasi seperti PKS (Partai Keadilan Sejahtera), percayalah itu hanya kedok. Kalau mereka berkuasa mayoritas lewat Pemilu, secara bertahap mereka akan mendirikan negara Islam atau Khilafah yang mereka igaukan tiap tidur.
Dan, mungkin itulah takdir untuk Benazir. Yang pasti, pembunuhan Benazir akan memberi inspirasi bagi para "bajak laut" di Indonesia. Dalam 10-20 tahun mendatang, tragedi ala Benazir akan terjadi di Indonesia.

Wednesday, December 26, 2007

Robohnya Sekolah Kami

Setiap Tempat adalah Sekolah, Setiap Orang adalah Guru”
(Ki Hajar Dewantara)


Setelah porak poranda oleh hantaman bom atom AS di awal Agustus 1945, Jepang mencoba bangkit dan membangun kembali negerinya. Sang Kaisar pun mengajukan pertanyaan sederhana kepada perdana menteri. Berapa guru yang masih hidup?

Pertanyaan tersebut menjadi langkah awal Jepang bangkit dari kehancurannya dan menjadi raksasa ekonomi dunia yang mampu bersaing dengan Amerika dan Eropa.

Juga bukan suatu kebetulan bila sang komponis “Indonesia Raya”, WR Supratman menuliskan syair “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya”. Supratman tahu persis bahwa “membangun jiwa” adalah “necessary condition” untuk pembangunan sebuah bangsa.

Soekarno pun seia sekata dengan Supratman. Karena itu, Soekarno mencanangkan “Nation and Character Building”. Membangun karakter bangsa, itu yang pertama dan utama. Bayangkan, di masa Demokrasi Terpimpin -yang selalu ditulis dalam sejarah sebagai era kediktatoran Soekarno- sebuah pertandingan volley antar kampung, tim pemenangnya mendapatkan hadiah sebuah buku “Di Bawah Bendera Revolusi”. Sekali lagi, hadiahnya sebuah buku, bukan piala, piagam, uang apalagi voucher belanja di mal.

Pun begitu pula Hatta. Pasca dibubarkannya PNI oleh Sartono atas intimidasi kolonial Belanda, Hatta membentuk kembali PNI dengan akronim baru, Pendidikan Nasional Indonesia yang popular dikenal dengan PNI Pendidikan. Hatta berpendapat sebuah organisasi atau partai yang baik seharusnya lebih mengutamakan kualitas kader bukan sekedar lautan massa yang dimobilisasi setiap Pemilu dan Pilkadal.

Kini, ketika kita membaca koran setiap hari, kita akan melihat hanya tiga hal yang terus menerus menjadi polemik para pakar, birokrat dan masyarakat. Pertama, anggaran pendidikan yang tidak memadai. Dua, para guru yang bergaji rendah dan tidak kompeten. Dan, ketiga Ujian Nasional (UN) yang menjadi momok siswa.

Lantas, pernahkah kita bertanya langsung pada para anak muda, sekumpulan bocah SD, SMP dan SMA tentang keinginan dan kebutuhan mereka akan pendidikan. Tentu saja tidak. Kita sebagai orang tua tentu sudah mempersiapkan masa depan mereka yang seringkali tidak “link and match” dengan need, want dan mungkin taste mereka.

Bila kita berprofesi sebagai lawyer, maka kita akan mengarahkan anak-anak kita masuk fakultas hukum. Bila kita menjadi dokter, maka kita pun mengharapkan anak-anak kita juga mengikuti jejak kita.

Kita selalu mengajarkan pada anak-anak kita tentang cara mencapai kesuksesan. Ya, cara, teknik, metode atau “how to”. Paling jauh kita memberikan informasi kepada mereka tentang “what to”, apa itu profesi dokter. Berapa gaji yang akan kita dapat bila kita menjadi lawyer. Dan seterusnya.

Kita lupa, lalai dan abai memancing anak bertanya, “why to”. Mengapa kamu harus menjadi dokter? Mengapa kamu harus menjadi lawyer? Pernahkah kita memangku anak kita dan menceritakan tentang kisah Mahatma Gandhi, seorang lawyer sukses dan kaya yang memilih –bukan terpaksa- menjadi aktivis politik yang memperjuangkan pembebasan rakyatnya dari kolonialisme Inggris. Dan pernahkah kita menguraikan alas an Gandhi memilih hijrah menjadi aktivis politik yang menghidupi perjuangannya dengan kekayaannya? Ataukah kita sempat menceritakan dengan rinci bagaimana Gandhi harus terusir dari kursi kereta kelas eksekutif ke kelas ekonomi hanya karena Gandhi bukan kulit putih.

Maybe Yes. Or not yet. Ya, anda tidak salah. Kebutuhan biaya (baca: investasi) pendidikan anak kita sedemikian mahalnya. Mulai dari SPP, admission fee, biaya antar jemput, biaya les piano, biaya try out, uang promnite, uang ekskul dan lain-lain. Kita sebagai orang tua harus berjuang nine to five –bahkan lebih- untuk mencukupi biaya pendidikan anak kita, sehingga tidak sempat membacakan kisah-kisah pemimpin, pahlawan, nabi-nabi dan true leader lainnya.

Last but not least, juga sudahkah kita menanamkan nilai-nilai kejujuran, integritas dan harga diri pada anak-anak kita. Mungkin, kita bisa terinspirasi dari cara sebuah pesantren tradisional di pelosok Jawa Timur yang mencoba mendarahdagingkan nilai-nilai kejujuran dengan membuat sebuah “kantin kejujuran”.

Beda dengan kantin konvensional, “kantin kejujuran” tidak dijaga oleh seorang kasir yang bertugas menerima pembayaran dari siswa. “Kantin kejujuran” hanya menyediakan sebuah kotak uang dimana siswa yang mengambil sebuah barang dapat memasukkan uang senilai barang yang diambilnya ke dalam kotak tersebut.

Setiap malam, pengelola kantin tersebut mengecek jumlah uang yang masuk untuk dicocokkan dengan jumlah barang yang terjual. Pada awalnya, terdapat selisih cukup besar antara uang dalam kotak dengan nilai barang yang terjual. Pihak pesantren tidak mengusut, siapa yang tidak jujur, tapi hanya mengumumkan selisih tersebut. Beberapa saat kemudian, selisih tersebut semakin mengecil sebagai tanda telah meningkatnya grafik kejujuran para santri.

Dengan demikian, benarlah quote dari Ki Hajar Dewantara di awal tulisan ini, “Setiap Tempat Adalah Sekolah, Setiap Orang Adalah Guru”. Juga, dengan demikian, judul tulisan ini, “Robohnya Sekolah Kami” menjadi tidak “relevan dan signifikan” –mengutip ucapan populer seorang petinggi negeri ini. Wallahu A’lam.

Sunday, December 23, 2007

Siapakah Diantara Kita Yang Tidak Sesat?

Maraknya aliran sesat dan lebih maraknya lagi berbagai kelompok fasis Islam yang "main hakim sendiri" terhadap aliran sesat ditanggapi secara unik oleh Emha Ainun Najib (Cak Nun). Cak Nun hanya mengajukan pertanyaan retoris, "Siapakah diantara kita yang tidak sesat?".
Kalimat retoris Cak Nun mirip dengan kalimat retoris Yesus (Isa Almasih) yang "membela" seorang pelacur dari amuk massa yang ingin membunuhnya karena dianggap berbuat maksiat dan dosa. Yesus berkata, "Siapa di antara kalian yang tidak berdosa?". Tidak ada satupun orang yang berani menjawab.
Kalau kita nonton film "Passion of Christ", Yesus pun dianggap sesat dan murtad oleh para rabbi Yahudi. Bahkan Nabi Muhammad SAW pun awalnya dianggap sesat oleh kaum Quraisy.
Yang pasti, dalam iklim modern saat ini, seseorang tidak bisa diadili dan dihukum karena mempunyai keyakinan yang berbeda. Bila ada seseorang yang declare bahwa Tuhannya adalah "kucing garong", maka kita tidak bisa menghukumnya. Kita -paling jauh- hanya bisa mengadukannya ke otoritas hukum karena telah "meresahkan masyarakat", dan biarkan otoritas hukum yang memprosesnya. Kalau masyarakat sipil seperti FPI, MUI atau ormas Islam fasis lainnya ingin intervensi jelas tidak bisa menggunakan medium kekerasan. Gunakanlah bahasa dakwah dan dialog kepada kebenaran. Bila si "aliran sesat" tersebut tetap "keukeueh" dengan keyakinannya maka tugas sang pendakwah sudah selesai.
Kini, otoritas hukum justru harus menindak tegas para kelompok Islam fasis seperti FPI atau apapun namanya yang telah berbuat anarkis. Kalau tidak, mungkin bisa terjadi konflik horizontal di negeri ini. Salam.

Friday, December 14, 2007

Nasi Goreng Tanpa Nasi

Nasi goreng tanpa nasi? Tidak mungkin bukan? Namun itulah yang terjadi di Republik ini, ketika sekelompok kaum muda mendeklarasikan “Saatnya Kaum Muda Memimpin” di Gedung Arsip Nasional saat peringatan Sumpah Pemuda 2007 lalu.

Ya, mengutip Indra Jaya Piliang yang menulis “Kaum Muda Tanpa Kaum”, kaum muda yang mendeklarasikan pernyataan “Saatnya Kaum Muda Memimpin” ternyata adalah “kaum muda tanpa kaum”, bagaikan “kepala” tanpa “kaki” dan “tangan” atau seperti Hegel, “ide” tanpa “praktik”.

Kita semua sudah mafhum bahwa mereka yang menamakan dirinya “kaum muda” tersebut sebagian besar adalah aktivis muda yang day to day berprofesi sebagai pengamat politik, dosen, jurnalis dan satu-dua aktivis partai. Yang pasti mereka, tidak punya “kaum”, tidak punya basis massa, konstituen dan umat. Mereka hanya punya media massa yang kebetulan para awak media tersebut adalah bekas teman kuliahnya, teman kost-nya, teman satu organisasi yang bisa dilobi untuk memuat aktivitas “Saatnya Kaum Muda Memimpin” menjadi headline di berbagai media massa. Setelah deklarasi pun, mereka kembali bertapa di balik notebook mereka, mencari ide baru yang “layak tayang” di media massa. Adakah dalam satu minggu sekali mereka berdialog dengan para tukang becak, sopir angkot, petani, nelayan, buruh, pelacur, germo, tukang parkir atau sekedar office boy di kantornya masing-masing? Untuk sekedar mendengar apa sebenarnya kebutuhan rakyat. Apa rakyat butuh “kaum muda sebagai pemimpin” atau hanya butuh beras murah?

Itulah kaum muda kita, bagaikan nasi goreng tanpa nasi. Namun, fenomena nasi goreng tanpa nasi tersebut tidak hanya melanda kaum muda. Berapa banyak hakim tanpa kebijaksanaan, ulama tanpa ilmu, orang kaya tanpa semangat berderma, pengusaha tanpa berusaha, dan lain-lain. Mereka sudah cukup puas terpenjara dengan gelar, pangkat, statu atau titel tanpa memperhatikan makna peranan yang melekat pada status tersebut.

Itulah yang terjadi pada kaum muda yang berteriak “Saatnya Kaum Muda Memimpin”. Apakah yang sudah mereka lakukan untuk memimpin selain menulis artikel di surat kabar, menjadi panelis dalam diskusi dan seminar, atau membuat proposal program untuk mendapat kucuran dana funding asing.

Anda ingin memimpin?

Satu, Anda Harus punya Massa, Konstituen atau Umat. Dua, Anda Harus Punya Visi, mau diapakan dan dikemanakan pengikut anda.Tiga, Anda Harus Punya “Logistik”, minimal untuk ongkos bensin anda untuk “turba” ketemu konstituen. Dan logistik tersebut akan lebih baik bila berasal dari kocek anda pribadi, bukan dari sponsor apalagi patronase. Yang terjadi sekarang, banyak aktivis politik menggalang massa dengan logistik dari sponsor dan patronase, setelah berkuasa dan menentukan anggaran, maka alokasinya tentu lebih diutamakan sponsor dan patronase tersebut.

Lalu, “ice breaking”-nya bagaimana? Ya, turun ke bawah, langsung ke rakyat. Mulailah dari bawah. Jadilah pengecer terlebih dahulu di tingkat lokal. Bila jualan anda laku, maka anda bisa jadi agen yang mengkoordinir sejumlah pengecer. Agen yang sukses tentu akan beranjak menjadi distributor. Dan jangan lama-lama jadi distributor yang memasarkan produk orang lain walaupun produk tersebut anda sukai. Tentukan saat yang tepat, anda membuat produk sendiri yang orisinil, berbeda dan tentu lebih bermanfaat bagi konsumen.

Jika itu kita lakukan. Kita bukanlah lagi “kaum muda tanpa kaum” apalagi “nasi goreng tanpa nasi”. Wallahu A’lam.