Wednesday, September 12, 2007

Hari-Hari Ketidaksetiaan



Hari-hari ini kita dipertontonkan oleh “teladan” ketidaksetiaan dari para public figure kita. Ada anggota DPR yang merekam “adegan” ketidaksetiaannya di ponsel. Juga ada dai kondang yang mengemas ketidaksetiaannya dalam bahasa relijius.

Yang pasti korban ketidaksetiaan itu adalah kaum perempuan! Kaum perempuan dalam atmosfer patriarki memang menjadi kaum lemah yang dipinggirkan oleh para rezim, terutama rezim fasis relijius. Masih segar dalam ingatan kita ketika rezim fasis relijius tersebut menolak presiden perempuan dalam event Pemilu 1999. Semasa masih menjadi mahasiswa UI, penulis pernah dipanel dalam sebuah diskusi di Masjid UI membahas presiden perempuan. Pada momen tersebut, terlihat sekelompok mahasiswa beraliran fasis relijius menolak mentah-mentah presiden perempuan. Penulis pun hanya mengajukan argumen sederhana ; Bahwa kita semua lahir ke dunia tidak pernah tahu apakah lahir sebagai laki-laki atau perempuan?

Masih terngiang cerita kyai dan alim ulama di kampung-kampung tentang kaum jahiliyah Arab yang mengubur anak perempuannya hidup-hidup! Tentang perempuan-perempuan yang tidak berhak mendapatkan warisan bahkan menjadi barang warisan. Islam-lah yang kemudian mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan. Tidak ada lagi anak perempuan dikubur hidup-hidup. Tidak dijumpai lagi perempuan yang menjadi barang warisan. Mungkinkah bangsa kita ingin meniru perilaku Arab jahiliyah. Selalu menyakiti kaum perempuan yang justru adalah ibu kita sendiri, yang melahirkan kita!

Berani sumpah! Setiap kaum perempuan akan sangat sakit hati bila menyaksikan ketidaksetiaan dari pasangannya. Toh, kaum laki-laki juga akan marah bila melihat istrinya selingkuh dengan pria idaman lain. Sama saja bukan? Mungkinkah bangsa kita memang bangsa yang tidak setia?

Dulu, di masa Revolusi Kemerdekaan, setiap pejuang republiken pasti akan menghukum mati para pengkhianat yang membocorkan rahasia perjuangan kepada Belanda. Bahkan PM Sutan Syahrir sempat diculik oleh para pejuang yang meragukan kesetiaan Syahrir hanya karena Syahrir bersedia berkompromi dalam perundingan dengan Belanda. Para pejuang republikan saat itu memang hanya mengenal warna hitam putih. Setia kepada Republik, merdeka 100% atau menjadi antek Belanda.

Banyak juga kaum pribumi yang tidak setia pada republik. Mereka pun terbujuk oleh Van Mook untuk selingkuh dengan Belanda dan keluar dari republik. Negara-negara boneka pun terbentuk. Ada Pasundan, NIT dan lain-lain.

Ke belakang lagi, di masa pergerakan nasional, pimpinan Sarekat Islam menguji kesetiaan anggotanya dengan menerapkan disiplin partai. Anggota SI yang masih rangkap keanggotaan dengan partai lain, terutama ISDV (Indische Sociaal-Democratische Vereeniging) diharuskan memilih salah satu, SI atau ISDV. Sejarah membuktikan bahwa para anggota SI “Merah” memilih keluar dari SI dan membentuk Sarekat Rakyat, cikal bakal PKI.

Jadi, semuanya tergantung pada kita semua. Mau setia atau tidak setia? Hanya ada dua pilihan itu. Namun, rupanya kini kelompok fasis relijius lebih cerdik bagaikan sang kancil. Ketidaksetiaan dikemas dalam bahasa relijius. Dan kembali, agama –versi kelompok fasis rejius- harus bertentangan dengan hati nurani. Entah sampai kapan. Wallahu a’lam.