Friday, February 24, 2006

Kaum Muda Islam, Mendayung diantara dua karang

Bila founding father kita, Bung Hatta pernah mengibaratkan bahwa Pancasila bagaikan mendayung di antara dua karang, sosialisme dan liberalisme, perumpamaan tersebut menemukan relevansinya pada kehidupan kaum muda Islam tanah air yang juga kini harus mendayung di antara dua karang, liberalisme dan revivalisme.
Karang pertama liberalisme kini tengah digandrungi sejumlah kaum muda Islam yang mengklaim dirinya sebagai pengusung Islam liberal-progresif-transformatif yang menawarkan agenda pencerahan terhadap pola pikir konservatif umat Islam yang literal dan dogmatis. Karang kedua revivalisme tidak kalah banyak pengikutnya. Di sejumlah kampus center of excellent, mereka menanamkan pengaruh dan dominasinya. Berbekal paket doktrin keagamaan yang diimpor dari Timur Tengah, mereka dengan percaya diri menyebarkan dakwah “Islam kaffah” ke masyarakat melalui berbagai jalur, baik politik, kultural, sosial-ekonomi dan bahkan –kadang-kadang- kekerasan!
Anatomi Karang Liberalisme
Karang liberalisme dihuni oleh sejumlah anak muda berlatar belakang pendidikan keagamaan tradisional yang menamatkan pendidikan tingginya di IAIN. Aktivitas mereka seperti seminar, diskusi, pelatihan, advokasi, community development dan meramaikan wacana sosial keagamaan di media massa –diakui atau tidak- didukung pendanaannya oleh sejumlah funding asing dari Barat yang mempunyai agenda liberalisasi ekonomi dan politik negara-negara berkembang. Berbagai istilah dari Barat yang terdengar asing bagi si Ujang, pemuda desa di pelosok Jawa Barat, dengan gagah mereka sosialisasikan. Jadilah si Ujang harus mengernyitkan kening untuk sekedar memahami makna semantik istilah-istilah seperti civil society, emansipatoris, islam liberal versus islam literal, multiculturalism, gender, human rights dan sebagainya.
Tanpa disadari, kaum muda Islam yang berpijak di atas karang liberalisme menjadi corong dan backing vocal terbaik bagi aspirasi dan agenda dunia Barat yang –menurut Soekarno- tengah mencoba menjajah kembali Asia-Afrika, neo-kolonialisme dan imperialisme. Barat yang terpaksa mendekolonisasi Asia-Afrika pasca Perang Dunia II kini mencoba menjajah kembali Asia-Afrika, bukan lagi dengan senjata dan mesiu tapi dengan wacana “Pasar Bebas” dan “Liberalisme”.
Barat ingin menjadikan Asia-Afrika sebagai daerah pemasaran hasil industrinya yang over supply. Perusahaan Rokok Philip Morris yang kehilangan pasarnya di Eropa dan Amerika akibat pengetatan larangan merokok di tempat umum, mengalihkan investasinya ke Indonesia, dimana masih banyak bapak-bapak yang rela menghabiskan uangnya untuk merokok daripada membelikan susu untuk anaknya!
Untuk itu, pasar Asia-Afrika harus diliberalisasi. Masuklah IMF dengan SAP-nya (Structural Adjustment Program) yang memaksa negara-negara berkembang membuka pasarnya bagi produk-produk Barat sekaligus mendesak Asia-Afrika menghapuskan subsidi sosial bagi kaum miskin dengan argumen efisiensi anggaran dan menghilangkan distorsi pasar.
Liberalisme, itu kata kuncinya. Semua sektor harus diliberalisasi. Politik diliberalisasi dengan eksploitasi wacana demokrasi sehingga demokrasi tinggal prosedur-prosedur formal, dimana tangan-tangan otoritarian, sektarian dan korup kembali tampil di panggung melalui pintu demokrasi!
Kebudayaan diliberalisasi (Baca: Westernisasi) sehingga aspirasi dan tradisi lokal tidak mendapatkan apresiasi dan mengalami proses marjinalisasi. Kebudayaan hedonis dan “Sastra Lendir” –meminjam istilah Pramoedya Ananta Toer- mendominasi media publik dan meracuni pola pikir generasi muda.
Mungkin kaum muda Islam yang menapakkan kakinya di karang liberalisme bermasud baik, hanya sekedar mengkritisi doktrin dan penafsiran keagamaan yang sudah tidak relevan dengan semangat esensial Islam. Namun, tanpa disadari karang liberalisme dimana mereka berpijak merupakan karang yang tumbuh di atas pantai neo-imperialisme.
Anatomi Karang Revivalisme
Mereka yang berpijak di karang revivalisme sekarang memasuki babak baru ketika jalur politik yang mereka tekuni mulai membuahkan hasil. Melalui pintu demokrasi, kaum muda Islam revivalis –bersama-sama para koruptor dan diktator- meraih kursi-kursi kekuasaan. Target utama kaum muda Islam revivalis sederhana, mengembalikan kejayaan Islam seperti pada masa Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin hingga kejatuhan Turki Utsmani, dimana “syariat Islam” dan “negara Islam” ditegakkan secara kaffah.
Seakan mengalami amnesia, kaum muda Islam revivalis lupa bahwa sejarah Islam tidaklah gilang-gemilang seperti yang mereka igaukan. Pertumpahan darah, kilatan pedang dan perpecahan kental mewarnai sejarah Islam, terutama sepeninggal Rasulullah. Kini, semangat keberagamaan mereka disusupi oleh semangat resistensi terhadap Barat yang diskriminatif dan eksploitatif.
Alih-alih menyebarkan Islam yang rahmatan lil alamiin, citra Islam kini tercoreng oleh serangkaian aksi-aksi intoleransi terhadap kaum minoritas. Non-muslim tidak bisa lagi beribadah dengan tenang seperti di masa Rasulullah, kini kaum non muslim harus menggenapkan dirinya menjadi puluhan jamaah bila ingin mendirikan rumah ibadah. Sekelompok masyarakat –yang sudah mengaku dirinya muslim- juga harus menelan pil pahit ketika masjidnya dihancurkan oleh saudaranya sesama muslim, persis seperti Muawiyah membantai habis cucu Rasulullah, Hasan dan Husein.
Mungkin kaum muda Islam revivalis bermaksud baik. Barat yang diskriminatif dan eksploitatif harus dilawan! Tapi agaknya mereka melupakan ajaran “amar ma’ruf nahi munkar” versi Rasulullah. Kini “amar ma’ruf nahi munkar” dilakukan dengan cara-cara yang munkar!
Harus ada “The Third Way”, Mungkin Anda Orangnya?
Sebagaimana Anthony Giddens yang merintis “The Third Way” sebagai alternatif karang sosialisme dan liberalisme, maka kaum muda Islam Indonesia harus mulai mendesain “The Third Way” sebagai alternatif karang liberalisme dan revivalisme. Sudah cukuplah kebingungan si Ujang, pemuda desa Tasikmalaya lulusan SMP yang kebingungan menyaksikan teman-temannya yang kuliah di kota bertengkar (Baca: Berwacana!) dengan penggalan ayat-ayat Tuhan dan istilah-istilah asing. Si Ujang tidak butuh wacana, ia hanya butuh lapangan kerja yang makin langka di republik ini. Mungkinkah anda orangnya, sang perintis “The Third Way”. Walahu a’lam.
Penulis adalah lulusan Ilmu Sejarah UI dan alumni PMII. Kini mengasuh website http://www.gusmus.net/

No comments: