Tuesday, February 07, 2006

Bila Buah jatuh Jauh dari Pohonnya

“Buah jatuh tak jauh dari pohonnya”. Itulah pepatah yang menggambarkan karakter seorang anak yang berperilaku (hampir) sama seperti orang tuanya. “Like father, like son”, begitulah padanan pepatah tersebut dalam khazanah sastra Barat. Memang sangatlah wajar bila seorang anak berperilaku seperti orang tuanya. Orang tua memang berperan besar dalam membentuk karakter dan kecenderungan pribadi seorang anak. Dalam sebuah hadits bahkan ditegaskan bahwa, “setiap anak lahir dalam keadaan fitrah, namun orang tuanyalah yang menjadikannya sebagai yahudi, nasrani ataupun majusi”

Dalam konteks politik Indonesia, banyak tokoh politik saat ini yang merupakan keturunan para tokoh pergerakan nasional dan perintis kemerdekaan. Sekedar menyebut nama, misalnya Megawati Soekarnoputri yang berhasil meraih tahta kepresidenan, seakan meniru ayahnya, Soekarno, presiden pertama republik ini. Walaupun banyak ahli sejarah yang berpendapat bahwa Megawati bukanlah “anak ideologis” Soekarno, namun sedikit banyak langkah politiknya banyak diinspirasikan sang ayah.
Namun, kini kita melihat banyak kaum muda mencoba membangun identitasnya sendiri yang sangat berbeda dengan karakter orang tuanya. Sudah banyak contoh dalam kehidupan di masyarakat karakter seorang anak berbeda jauh dengan orang tuanya. Dalam ranah kehidupan keberagamaan, misalnya, kita menjumpai lahirnya sebuah generasi muda muslim baru yang tidak pernah kita jumpai akar sejarahnya di masa lampau. Generasi muda muslim baru tersebut tidak pernah menjadikan pemikiran tokoh-tokoh Islam Indonesia di masa lampau seperti KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asya’ari dan Cokroaminoto sebagai rujukan berpikirnya. Mereka lebih merasa “nyaman”, “benar” dan “afdhol” merujuk pada tokoh-tokoh Islam Timur Tengah seperti Sayyid Quthb, Hasan al-Banna dan Yusuf Qardhawi. Secara kebetulan para tokoh tersebut adalah para pioner Ikhwanul Muslimin, sebuah organisasi Islam berbasis di Mesir yang mencita-citakan terbentuknya sebuah imperium Islam di bumi, sebuah Daulah Islamiyah. Ikhwanul Muslimin –dengan berbagai organisasi variannya seperti Jamaah Islamiyah (JI) dan Hizbut Tahrir (HT)- memang mencita-citakan sebuah Daulah Islamiyah, dengan slogan “Allah Ghayatuna, Rasulullah Qudwatuna, Qur’an Dusturuna, Jihad Sabiluna, Syahid Asma’amanina”. Dalam doktrin Ikhwanul Muslimin, Daulah Islamiyah wajib didirikan hingga “Tidak ada lagi fitnah (terhadap Islam) di muka bumi”. Cita-cita Daulah Islamiyah dalam pola pikir generasi muda muslim baru tersebut jelas merupakan suatu doktrin yang tidak pernah diajarkan oleh para orang tua kita di Indonesia, tidak diajarkan oleh KH Hasyim Asy’ari, tidak juga oleh KH Ahmad Dahlan dan tidak juga oleh Cokroaminoto. Generasi muda muslim baru tersebut telah tercerabut (dan mencerabutkan dirinya) dari akar sosial-kultural keislaman Indonesia yang tidak mencita-citakan Daulah Islamiyah. Dua organisasi Islam terbesar dan tertua di Indonesia, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sejak awal kelahirannya tidak pernah mempunyai mimpi “Daulah Islamiyah”.
Lalu, dari mana anak-anak muda tersebut sampai “bermimpi” dan “mengigau” tentang Daulah Islamiyah? Itulah efek globalisasi. Dunia bagaikan “Global Village” yang menyatu dan tanpa batas. Pemikiran, ideologi dan doktrin Daulah Islamiyah sampai dan melekat di otak anak-anak muda melalui media massa. Doktrin tersebut juga menyebar secara intensif pada periode 1990-an –dimana Orde Baru mencapai puncak kejayaannya- melalui pengajian-pengajian kecil dengan sistem sel di kampus-kampus dan sekolah-sekolah umum yang telah didepolitisasi oleh Orde Baru dari “politik aliran” sehingga ormas pelajar Islam seperti Ikatan Pelajar NU (IPNU) dan Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM) tidak diizinkan berkiprah. Tidak heran, bila generasi muda muslim baru yang sekolah dan kuliah di sekolah dan kampus negeri asing dengan pemikiran toleransi keagamaan dan kebangsaan ala NU dan Muhammadiyah. Mereka lebih akrab dengan doktrin Daulah Islamiyah ala Ikhwanul Muslimin.
Di masa reformasi, doktrin Daulah Islamiyah bahkan mendapatkan tempatnya di panggung politik. Generasi muda muslim baru tersebut mendirikan sebuah partai politik yang berlabel “partai dakwah”. Partai tersebut pun mampu meraih suara signifikan pada Pemilu 2004 dan bahkan berhasil mendominasi perolehan suara di ibukota Jakarta. Di level Civil Society, mereka mengibarkan bendera Hizbut Tahrir, sebuah organisasi Islam varian Ikhwanul Muslimin. Bila Ikhwanul Muslimin memperbolehkan sistem demokrasi sebagai sarana merebut kekuasaan dan menegakkan Daulah Islamiyah, maka Hizbut Tahrir sama sekali menolak sistem demokrasi. Hizbut Tahrir memilih cara-cara propaganda ekstra parlementer untuk mengkampanyekan Daulah Islamiyah.
Walhasil, kaum muda di sekolah dan kampus umum lebih akrab dengan pemikiran Hasan Al Banna dan Sayyid Quthb daripada keteladanan KH Ahmad Dahlan maupun semangat kebangsaan KH Hasyim Asy’ari. Seperti anak muda gaul yang lebih mengidolakan artis asing seperti Britney Spears dan Brad Pitt, maka generasi muda muslim baru tersebut juga lebih terpesona dengan doktrin Daulah Islamiyah ala Sayyid Quthb dan Hasan Al Banna daripada wacana “sekularisasi” versi Nurcholish Madjid maupun “pribumisasi Islam” Abdurrahman Wahid. Dalam pandangan generasi muda muslim baru tersebut, Cak Nur dan Gus Dur adalah “agen-agen zionis dan salibis” yang “tidak akan rela sampai kaum muslimin mengikuti jalan mereka (zionis dan salibis)”. Ditemukannya buku-buku karangan Hasan Al Banna dan Sayyid Quthb ketika polisi menggeledah rumah para tersangka teroris yang terkait jaringan Dr. Azahari – Noordin Top bukanlah sebuah kebetulan. Sedikit banyak doktrin Daulah Islamiyah yang diuraikan dalam buku-buku karangan Hasan Al Banna dan Sayyid Quthb telah menginspirasikan anak-anak muda tersebut sehingga rela menjadi pembom bunuh diri yang membunuh warga sipil yang tidak bersalah.
Sudah saatnya para kyai, alim-ulama, cendekiawan muslim dan intelektual muda muslim kembali ke tengah-tengah umat! Wahai para kyai, berhentilah mengurus pecah belah partai politik. Basahilah kembali bumi Indonesia dengan siraman taushiyah, petuah dan keteladananmu. Wahai para cendekiawan dan intelektual muda muslim, hentikanlah debat kusirmu di jurnal-jurnal yang jarang dibaca dan dimengerti umat. Cerdaskanlah teman muda sebayamu dengan dialog dan argumen yang sejuk dan dipahami umat. Sudah saatnya negara mengkoreksi total kebijakan Orde Baru yang “membersihkan” sekolah-sekolah dan kampus-kampus dari dua arus utama Islam Indonesia, NU dan Muhammadiyah. Biarkanlah anak-anak muda di sekolah-sekolah dan kampus-kampus “kembali ke pangkuan orang tua mereka” sehingga semangat keberislaman dapat digelorakan dalam satu tarikan nafas dengan semangat kebangsaan. Last but not least, sudah saatnya para anak muda yang mengklaim dirinya sebagai generasi muda muslim baru kembali berpijak di bumi nusantara. Galilah kembali pemikiran Islam otentik yang moderat dan toleran dari para kyai dan alim-ulama, orang tua kita sendiri! Wallahu A’lam.

Penulis adalah alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) di Universitas Indonesia

No comments: