Friday, September 05, 2008

Khairunnas Anfauhum Linnaas (Refleksi untuk kita sahabat PMII)

Istilah di atas kira-kira artinya, "manusia terbaik adalah yang bermanfaat bagi sesamanya". Logikanya, manusia yang bermanfaat ialah manusia yang memiliki kelebihan baik ilmu dan harta. Minimal, dia bermanfaat bagi keluarga intinya, syukur-syukur masyarakat luas pun dapat merasakan manfaatnya.

Logikanya lagi, seorang sarjana dari sebuah perguruan tinggi seperti UI seharusnya bisa bermanfaat bagi banyak orang dan tidak hanya bagi dirinya sendiri. Namun, kini banyak kita saksikan banyak sarjana yang cukup puas hanya bisa bermanfaat bagi dirinya sendiri, tidak peduli urusan orang sekitarnya. Setelah urusan perut terpenuhi (bisa makan 3 x sehari), maka bawah perut (kawin) jadi prioritas berikutnya. Setelah bawah perut terpenuhi, maka pikiran selanjutnya adalah penopang perut (kaki-alias gak mau jalan kaki lagi, ya beli mobil dong). So, boro-boro mikiran orang lain apalagi memikirkan "ingin merubah dunia", jauh deh...

Kenapa bisa begitu? Ada dua jawabnya. Satu, orang tersebut balas dendam terhadap kemiskinan! Karena terlalu lama miskin, sekalinya dia punya duit maka dia pun menghabiskan duitnya untuk "mengganyang" kemiskinan tersebut. Makanya bener kata Karl Marx, hanya kelas menengah (yang dari kecil sudah terbiasa hidup agak enak) yang bisa melakukan perubahan. Orang miskin agak susah. Mikirin makan besok aja bingung. Eh sekalinya dapat duit, balas dendam

Jawaban kedua, karena keimanan yang "naik turun". Ironisnya, organisasi pengkaderan seperti PMII -yang mengklaim dirinya organisasi mahasiswa Islam- pun kurang berhasil (atau bahkan gagal) melahirkan kader-kader dan alumni yang punya "iman tebal" untuk menjadi "khairunnas". (sebagian besar) kader PMII -mungkin termasuk saya- tidak punya kepedulian untuk mau memberi manfaat bagi sesamanya. Para sahabat yang sudah alumni dan senior cenderung bersikap feodal -dalam arti menunggu adik-adiknya utk mengajukan proposal. Sementara para kader yang jadi pengurus pun "kurang kreatif" dan inisiatif dalam merancang gerakan dakwah dan program yang mampu mensyiarkan Islam aswaja di kampus. Sudah begitu militansinya (sebagai cerminan iman) di kampus sangat ketinggalan jauh dengan anak-anak tarbiyah/ PKS ibarat Depok-Kota.

Tapi, seperti kata Marx, superstruktur (iman) sangat ditentukan oleh infrastruktur (kondisi riil). Jadi, iman yang "naik turun" kayak gitu jangan-jangan karena latar belakang sosial ekonomi para sahabat PMII yang sebagian besar dari kelas menengah ke bawah? Yang untuk bayaran semester saja harus ribet ngurus keringanan ke dekanat. Untuk makan siang aja, harus jeli melototin spanduk seminar yang ada makan siang gratisnya. Beda jauh dengan kader-kader tarbiyah/ PKS yang tajir dan gak usah ribet ngurus keringanan tiap semester. Selalu ready untuk "berjihad" tanpa perlu dikirimin metromini.

Padahal kemiskinan seharusnya bukanlah sebuah ancaman, namun ia adalah sebuah tantangan yang memaksa si miskin menciptakan peluang-peluang kreatif.

So, mungkin esai ini agak keras "nonjok" para sahabat -baik alumni ataupun pengurus PMII- tapi ini harus saya tulis dan kabarkan, karena saya "trust and believe" dengan Islam ala ahlussunnah wal jamaah ala Nahdlatul Ulama sebagai agama yang mampu mendamaikan dunia ini. Dan PMII adalah garda depannya....

So, mari kita bantah Marx, bahwa iman kita tidaklah ditentukan oleh isi perut kita apalagi "aspirasi" bawah perut kita. Man jadda wa jadda!

No comments: